Rabu, 25 April 2018

Contoh Kasus Pasal 31 ayat 1


    1. Pemain Sepak Bola Asal Kroasia Diciduk Polisi karena Bobol Rekening



JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan pemain sepak bola asal Kroasia, Vedran Muratovic (34), diringkus polisi lantaran membobol data nasabah bank dengan modus skimming. Dia diringkus bersama tiga WN Bulgaria berinsial LS (33), MVY (40) dan MIM (33). "Kami behasil ungkap pencurian uang dengan ATM palsu, artinya data diambil dari orang lain melalui alat pemindah data, sehingga ATM yang palsu ini dipakai untuk ambil uang," ujar Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Nico Afinta di Mapolda Metro Jaya, Senin (18/12/2017). Menurut Nico, kasus ini diungkap setelah pihaknya mendapat laporan dari nasabah yang merasa uang di rekeningnya berkurang secara tak wajar. Setelah melakukan penyelidikan, polisi akhirnya menangkap Vedran dan tiga rekannya di kawasan Jakarta Pusat. "Jadi data itu diambil dari luar (negeri), ada kelompok yang sediakan data dan eksekutor di sini (Indonesia), nah kami sedang dalami yang kelompok sediakan data dengan Interpol. Usai ambil data dari luar, mereka pindah ke kartu ATM kosong ini, ada alatnya dan komputernya, termasuk nomor pinnya," kata Nico. Baca juga : Pelat Mobil Dimodifikasi, Seorang Pemain Bola Klub Persija Ditilang Polisi Menurut Nico, komplotan ini sudah beraksi selama dua bulan. Mereka menggasak uang ratusan juta dari rekening para korbannya. Akibat ulahnya, mereka terancam dijerat Pasal 263 KUHP dan atau 363 KUHP dan atau Pasal 46 Jo Pasal 30 dan Pasal 47 Jo Pasal 31 Ayat (1) & (2) UU RI No 19 Tahun 2016 atas perubahan UU RI No 11 Tahun 2008 tentang ITE dan atau Pasal 3, 4, dan 5 UU RI No 8 Tahun 2010 tentang TPPU. Sementara itu, Kasubdit Resmob Ditreskrimum Polda Metro Jaya AKBP Aris Supriyono menambahkan, Vedran pernah bermain di klub sepak bola asal Indonesia. "Dia pernah main di Persiba tahun 2015," kata Aris. Berdasarkan data yang dilansir situs www.transfermarkt.com, Vedran juga diketahui pernah bermain di Persebaya pada tahun 2012 dan di Serawak FC pada tahun 2012 lalu.


   2. Dilema Penyadapan


Oleh Heru Sutadi Isu penyadapan menjadi salah satu klausul yang masuk dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Isu penyadapan menjadi menarik karena terkait anggapan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU HAP) akan melemahkan lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kewenangan penyadapan dianggap perlu melekat pada KPK mengingat manfaatnya dalam membongkar kasus-kasus korupsi di negeri ini. Aturan penyadapan berelasi dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Pasal 31 Ayat 4 dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang berisi ”tata cara penyadapan yang diatur oleh pemerintah”. MK mengabulkan permohonan Wahyu Wagiman yang meminta pasal ini dihapus menanggapi rencana pembuatan RPP Penyadapan. MK berpendapat, pembatasan mengenai penyadapan harus diatur dengan UU untuk menghindari penyalahgunaan wewenang yang melanggar hak asasi manusia (HAM).
MK memandang perlu mengingatkan penyadapan dan perekaman pembicaraan merupakan pembatasan HAM. Pembatasan hanya dapat dilakukan dengan payung UU sebagaimana diatur Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945. Diskursus di MK Sebelum ramai dibahas dalam RUU HAP, diskursus penyadapan sebenarnya sudah berlangsung dalam pemutaran dan penyiaran rekaman pembicaraan telepon. Ini terutama setelah sidang di MK terkait uji materi (judicial review) Pasal 32 Ayat (1) huruf c UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang diajukan unsur pimpinan KPK non-aktif saat itu, Chandra M Hamzah dan Bibit S Rianto. Ada yang mendukung, ada yang menolak. Yang mendukung melihat bahwa penyadapan sah dilakukan. Misalnya, bagi KPK, penyadapan menjadi alat ampuh menjerat para pelaku korupsi. Terbukti tim penyidik KPK beberapa kali berhasil membongkar ulah koruptor yang bahkan melibatkan penegak hukum. Seperti kasus jaksa Urip Tri Gunawan, di persidangan terungkap, melalui penyadapan telepon ada hubungan antara Artalyta Suryani dan Urip, dan bahkan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Untung Uji Santoso.
Dalam kasus Bibit-Chandra, tersebutlah tokoh Anggodo dan kawan-kawan. Yang menolak penyadapan berargumen bahwa pembicaraan telepon, termasuk akses internet, merupakan wilayah pribadi dan dilindungi UU. Penyadapan serampangan membuat hal-hal pribadi terpublikasi. Jaminan privasi UU Telekomunikasi Nomor 36 Tahun 1999 menjamin privasi pengguna layanan telekomunikasi. Pasal 40 menyatakan, ”Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apa pun”. Menurut Pasal 41, operator telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima konsumen jasa telekomunikasi. UU Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008 pada Pasal 31 Ayat (1) dan (2) juga melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan atau dokumen elektronik. Namun, tetap ada perkecualian. Penyadapan (merekam informasi) dapat dilakukan untuk keperluan proses peradilan pidana atas permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu, serta permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai UU yang berlaku (Pasal 42 Ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 1999 dan Pasal 31 Ayat (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik No 11 Tahun 2008). Selain Kejaksaan dan Polri, berdasar UU 30 Tahun 2002 Pasal 12 Ayat (1) huruf a, KPK dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan juga dapat menyadap dan merekam pembicaraan. Tidak mudah Kenyataannya, penyadapan tidak selalu sesuai dengan UU, tugas, dan wewenang yang dimiliki. Permintaan tertulis tidak selalu ditandatangani Jaksa Agung atau Kapolri. Dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, ditengarai telepon seluler Rani Juliani dan Nasrudin Zulkarnaen disadap meski tidak langsung terkait tindak pidana korupsi. Ada juga wartawan yang disadap, padahal ia melakukan tugas jurnalistik. Bahkan, ada seorang ibu yang sedang dalam proses perceraian disadap untuk kepentingan (bakal mantan) suami di pengadilan agama. Dari pro dan kontra yang mengemuka, yang perlu dikedepankan adalah hak masyarakat, konsumen telekomunikasi, dan internet khususnya untuk tidak disadap. Dalam RUU HAP Pasal 83, tegas dinyatakan bahwa penyadapan pembicaraan melalui telepon atau alat telekomunikasi yang lain dilarang, kecuali terhadap pembicaraan terkait dengan tindak pidana serius atau diduga keras akan terjadi tindak pidana serius yang tidak dapat diungkap tanpa penyadapan.
Penyadapan hanya dapat dilakukan penyidik atas perintah tertulis atasan penyidik setempat setelah mendapat surat izin dari hakim komisaris. Aturan ini memberikan perlindungan privasi bagi masyarakat. Sayangnya, aturan jenis tindak pidana serius yang dimasukkan terlalu banyak. Harusnya, dibatasi pada hal terkait keamanan negara, terorisme, korupsi, narkoba, pengancaman atau pemerasan, serta perampasan kemerdekaan/penculikan saja. Selain itu, ketentuan Pasal 84 dalam RUU HAP menyebutkan, dalam keadaan mendesak penyidik dapat melakukan penyadapan tanpa surat izin dari hakim komisaris dengan ketentuan wajib memberitahukan penyadapan tersebut kepada hakim komisaris melalui penuntut umum. Hal itu dapat menjadi pembenar penyadapan tanpa izin. Terkait isi RUU HAP, yang diperlukan adalah prosedur operasi standar dalam hal penyadapan. Misalnya, siapa yang berwenang menandatangani permintaan tertulis penyadapan, kapan boleh dilakukan, dan sampai berapa lama. Sebab, mungkin saja, walau belum ada indikasi tindak pidana atau korupsi, sudah disadap. Bahkan, yang tidak masuk dalam tindak pidana atau korupsi juga disadap. Yang juga perlu diatur adalah audit penyadapan yang telah dilakukan penegak hukum. Ini untuk menilai apakah mekanisme penyadapan sesuai dengan prosedur operasi standar atau tidak. Sadap-menyadap yang tidak dapat dipertanggungjawabkan membuat masyarakat tidak percaya terhadap aparat penegak hukum dan pemerintah. Terkait pembukaan dan penyebaran rekaman penyadapan, perlu dilihat kembali Pasal 17 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Ada beberapa informasi yang dikecualikan dari akses publik untuk mendapatkan informasi. Informasi yang dikecualikan itu antara lain apabila dibuka dan diberikan dapat menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana ataupun mengungkapkan identitas informan, pelapor, saksi, dan atau korban tindak pidana. Selain itu, dikecualikan juga informasi publik yang apabila dibuka dapat mengungkap rahasia pribadi. Membuka penyadapan ke publik hendaknya disampaikan secara lengkap, sejak awal pembicaraan hingga selesai. Pembicaraan yang dipotong-potong berpotensi membuat teks keluar dari konteks. Heru Sutadi Pengamat Sosial Politik; Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute

3.  Bagaimana Hukum Penyadapan CCTV Berdasarkan Revisi UU ITE 2016


Memahami pesatnya perkembangan teknologi informasi dan pemanfaatannya, Pemerintah Indonesia baru saja melakukan revisi pada UU ITE.  Revisi tersebut termaktub dalam perubahan Undang-undang No. 19 tahun 2016 mengenai perubahan Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Tujuannya, agar ruang lingkup UU ITE lebih luas dalam mengatur dan menertibkan teknologi informasi dan pemanfaatannya. Salah satu yang menarik untuk diperhatikan adalah dari revisi UU ITE ini adalah ketentuan dalam pemanfaatan CCTV. Berawal dari permasalahan kata intersepsi atau penyadapan yang terlalu luas, mengambil gambar melalui CCTV dapat dikategorikan sebagai intersepsi. Berikut penjelasan kata intersepsi di pasal 31 ayat 1 UUITE: “Intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.” Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa mengambil gambar melalui CCTV dapat dikategorikan sebagai melakukan intersepsi atau penyadapan karena pengambilan gambar merupakan perekaman yang bersifat pribadi. Namun dalam hal ini memang belum jelas apakah hal tersebut termasuk bersifat publik atau tidak.   Makna intersepsi ini berpengaruh pada Pasal 5 ayat 2 UUITE yang mengatakan bahwa:  “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai hukum acara yang berlaku di Indonesia.” Serta, penjelasanya sebagai berikut:  “Khusus untuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik berupa hasil intersepsi atau penyadapan atau perekaman yang merupakan bagian dari penyadapan harus dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang.” Dari penjelasan di atas, kekuatan pembuktian CCTV di pengadilan juga dapat dikatakan meragukan.  Sebab, untuk menjadi alat bukti pengambilan gambar melalui CCTV yang dapat dianggap intersepsi tadi harus dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan otoritas yang berwenang. Belum lagi, UU ITE juga melarang intersepsi tanpa hak atau melawan hukum, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 31 UU ITE, bahwa: “(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain. (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku terhadap intersepsi atau penyadapan yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan undang-undang.” Hukuman untuk pelanggaran Pasal 31 ayat 1 dan/atau 2 tersebut adalah sebagai berikut: “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).” Menyiasati Alat Bukti CCTV Hal ini dapat membuat pemilik CCTV dijerat pidana. Lalu, bagaimana menyiasatinya agar perekaman gambar melalui CCTV ini tidak melanggar peraturan? Salah satu cara yang dapat menjadi solusi sebagainya adalah dengan cara mencantumkan tulisan yang menyebutkan bahwa wilayah yang dimaksud telah dilengkapi dengan CCTV. Dengan demikian, pengunjung atau tamu yang masuk ke wilayah tersebut dianggap menyetujui untuk direkam dengan CCTV. Tindakan ini juga disertai dengan hasil rekaman CCTV yang dapat dilihat secara publik agar dapat menjadikannya sebagai alat bukti. Pepatah mengatakan apabila ada 1000 ahli hukum, maka akan ada 1000 pendapat hukum yang berbeda. Demikian juga dengan hal di atas. Tentu saja ahli hukum lain mungkin berpendapat berbeda dengan tulisan ini. Bagaimana menurut pendapat Anda? *Mika Isac Kriyasa, SH adalah Penasihat hukum dan Senior Associate di kantor hukum Hanafiah Ponggawa & Partners (HPRP Lawyers)

4.
13 Bank di Indonesia Jadi Sasaran Pembobolan

          Lebih lanjut, 16 negara lainnya yakni Kanada, Perancis, Swis, Singapura, Denmark, Jepang, India, Islandia, Saudi Arabia, Hong Kong, Afrika Selatan, Sealandia Baru, Nurwegia, Cili, Belgia dan Italia.
"Dari 64 bank yang dibobol, total ada 1.480 kartu yang digunakan untuk mengambil uang para nasabah," ujarnya.
Dengan adanya kejahatan tersebut di 22 negara, Nico meminta masyarakat waspada saat bertransaksi menggunakan mesin ATM. Dia juga menghimbau untuk tidak segan melaporkan orang yang diduga mencurigakan berada di dalam ruang ATM dalam waktu yang cukup lama.
"Lalu yang berikutnya bila menemukan ada beberapa alat-alat yang di luar kebiasaan bisa melaporkan kepada polisi merasa terganggu tidak," pintanya.
Kelima tersangka itu ditangkap di De Park, Cluster Kayu Putih Blok AB 6 Nomor 3, Serpong, Tangerang, Banten, di Bohemia Vilage 1 Nomor 57, Serpong, Tangerang, di Hotel Grand Serpong Tangerang, dan di Hotel De Max Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.
Para tersangka dikenakan Pasal 363 KUHP dan atau Pasal 46 Jo Pasal 30 dan Pasal 47 Jo Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-undang RI No. 19 tahun 2016 atas perubahan undang-undang RI No. 11 tahun 2008 tentang ITE dan atau Pasal 3, 4 dan 5 Undang-undang RI No. 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.(X-10)

5. Sindikat Internasional Skimming ATM 64 Bank Kelabui Petugas Pakai Bitcoin

JAKARTA - Direktur Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya, Kombes Nico Afinta mengatakan, 4 WNA pembobol ATM 64 bank yang gunakan metode skimming ternyata diketahui mengkonversi uang hasil kejahatan ke dalam bentuk uang virtual atau sistem pembayaran elektronik Bitcoin.
Cara itu digunakan untuk menghindari sistem pelacakan yang dimiliki perbankan maupun kepolisian. Karena strategi itulah polisi masih belum dapat melacak secara keseluruhan hasil kejahatan yang mereka peroleh sejak awal beraksi di Indonesia pada Oktober 2017 silam.
"Ketika mengambil uang, mereka jarang diambil cash, semuanya hampir polanya ditransfer kemudian setelah ditransfer ada sebagian yang dipindahkan ke Bitcoin untuk mempersulit penyelidikan yang dilakukan oleh Polri," kata Nico di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Sabtu (17/3/2018).
Berdasarkan hasil penelusuran polisi, pelaku telah berhasil membobol kurang lebih 64 bank di seluruh dunia. Adapun pelaku berinisial FH (26) asal Hungaria, sedangkan IRT (27), LN (27) dan ASC (34) warga negara Romania. Saat beraksi di Indonesia, mereka dibantu oleh MK (29), seorang WNI.
Metode yang digunakan para pelaku yakni memasang alat skimmingpada mesin ATM pada lubang kartu untuk menggandakan data korban dan memasang spycamp atau kamera sembunyi tepat di atas tombol angka untuk mendapatkan PIN calon korban.
Dikatakan Nico, pihaknya tengah menjalin kerjasama dengan instansi terkait seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengetahui alur dana dan jumlah uang yang dikumpulkan sindikat para pelaku tersebut. "Masalah Bitcoin tentunya kami masih bekerjasama dengan OJK, perbankan dengan Bank Indonesia untuk mendalami itu," jelasnya.
Masing-masing tersangka dikenakan Pasal 363 KUHP dan atau Pasal 46juncto Pasal 30 dan Pasal 47 juncto Pasal 31 ayat (1) dan (2) Nomor 19 tahun 2016 atas perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dan atau Pasal 3, 4, dan 5 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.


6.  Polisi Ringkus Mantan Pesepak Bola Persebaya Asal Kroasia

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polda Metro Jaya meringkus mantan pemain sepak bola asal Kroasia, Vedran Muratovic (34).
Vedran pernah diikat kontrak oleh Persebaya pada 2012 dan di Serawak FC pada tahun 2012 lalu. Subdit Resmob Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya meringkus Vedran karena membobol data nasabah bank dengan modus skimming.
Vedran diringkus bersama tiga WN Bulgaria berinsial LS (33), MVY (40) dan MIM (33).
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Nico Afinta menerangkan, komplotan ini, kerap menggunakan data orang lain melalui alat pemindah data.
"Sehingga ATM yang palsu ini dipakai untuk ambil uang," ujar Nico di Mapolda Metro Jaya, Semanggi, Jakarta Selatan, Senin (18/12/2017). Kasus terungkap, setelah pihak Polda Metro Jaha mendapat laporan dari nasabah yang merasa uang berkurang tak wajar. Data diambil dari luar negeri. Kemudian, komplotan ini, mengeksekusinya di Indonesia.
Komplotan ini sudah beraksi selama dua bulan. Mereka menggasak uang ratusan juta dari rekening para korbannya.
"Usai ambil data dari luar, mereka pindah ke kartu ATM kosong ini, ada alatnya dan komputernya, termasuk nomor pinnya," ujar Nico.
Atas perbuatannya, mereka terancam dijerat Pasal 263 KUHP dan atau 363 KUHP dan atau Pasal 46 Jo Pasal 30 dan Pasal 47 Jo Pasal 31 Ayat (1) & (2) UU RI No 19 Tahun 2016 atas perubahan UU RI No 11 Tahun 2008 tentang ITE dan atau Pasal 3, 4, dan 5 UU RI No 8 Tahun 2010 tentang TPPU.

7. WNA Pembobol ATM ditangkap Polda Metro eks pesepakbola asal Kroasia

Merdeka.comVedran Muratovic, mantan pesepakbola asal Kroasia ini harus mendekam di balik jeruji besi. Pria berusia 34 tahun membobol data nasabah bank dengan modus skimming yaitu menyalin informasi yang terdapat pada strip magnetik kartu kredit atau debit secara ilegal.
Selain Vedran, polisi juga amankan tiga warga negara asing yakni Lazar Stoyanov (33), Momchil Vasilyev Yordanov (40), dan Mihai Julian Motocu (33).
"Pencurian uang dengan ATM palsu ini artinya data diambil dari orang lain melalui alat pemindah data, sehingga ATM yang palsu ini dipakai untuk ambil uang," ujar Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Nico Afinta di Mapolda Metro Jaya, Senin (18/12).
Nico mengatakan, kasus ini diungkap setelah polisi mendapat laporan dari nasabah yang merasa uang di rekeningnya berkurang secara tak wajar. Setelah melakukan penyelidikan, polisi akhirnya menangkap Vedran dan tiga rekannya di kawasan Jakarta Pusat.
"Jadi ada delapan laporan yang masuk ke kami. Awalnya data itu diambil dari luar (negeri), ada kelompok yang sediakan data dan eksekutor di sini (Indonesia), nah kami sedang dalami yang kelompok sediakan data dengan Interpol. Usai ambil data dari luar, mereka pindah ke kartu ATM kosong ini, ada alatnya dan komputernya, termasuk nomor pinnya," kata Nico.
Sementara itu, Kasubdit Resmob Ditreskrimum Polda Metro Jaya AKBP Aris Supriyono menambahkan, Vedran pernah bermain di klub sepak bola asal Indonesia. Hal itu berdasarkan data yang dilansir situs www.transfermarkt.com Vedran juga diketahui pernah bermain di Persebaya pada tahun 2012 dan di Serawak FC pada tahun 2012 lalu.
"Dia pernah main di Persiba tahun 2015," kata Aris.
Akibat ulahnya, para pelaku terancam dijerat Pasal 263 KUHP dan atau 363 KUHP dan atau Pasal 46 Jo pasal 30 dan pasal 47 Jo pasal 31 ayat (1) & (2) UU RI No. 19 thn 2016 atas perubahan UU RI No. 11 thn 2008 tentang ITE dan atau psl 3, 4 dan 5 UU RI No. 8 tahun 2010 tentang TPPU. 


8. Sindikat pembobol data ATM punya 3 kelompok, ini peran masing-masing

Merdeka.com - Aparat Polda Metro Jaya, menangkap lima orang tersangka dalam tindak pidana pencurian data elektronik (skimming) dan tindak pidana pencucian uang. Dari lima orang tersebut, satu orang merupakan WNI atas nama MK (29), satu tersangka asal Hungaria, FH (26) dan tiga lainnya asal Rumania, I alias RL (27), LN alias M (27) dan ASC (34).
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dir Reskrimum) Polda Metro Jaya, Kombes Pol Nico Afinta mengatakan, mereka terbagi dalam tiga kelompok berbeda dalam melaksanakan pengambilan uang ini dengan metodologi skimming.
"Yang pertama adalah kelompok penyedia alat di mana mereka sudah menyediakan alat-alat mulai dari softwarenya, hardware serta kamera kemudian melalui alat skiming dimasukan. Alat ini berasal dari luar negeri," kata Nico di Polda Metro Jaya,Jakarta Selatan, Sabtu (17/3).
Lalu yang kedua adalah kelompok operasional yang memasang kemudian melihat beberapa titik-titik ATM yang kira-kira bisa dipasangi dengan aman dan mereka juga melihat situasi jam dengan menentukan sasaran yang akhirnya alat-alat kejahatannya dipasang.
"Kemudian yang ketiga adalah kelompok yang mengambil uang kemudian mentransfer uang. Setelah mendapatkan data yang terambil dari ATM tertentu yang sudah dipasang alat kemudian mereka memindahkan ke kartu-kartu ini," jelasnya.
Jadi, mereka memasang alat untuk mengetahui PIN nasabah di mesin ATM sehingga apabila seseorang memasukkan nomor PINnya dan begitu kartu dimasukkan data itu terekam.
"Maka kalau kita memasukkan PIN kadang-kadang kan kita menutupi gunanya seperti itu," ujarnya.
Perwira menengah ini menerangkan, beberapa alat untuk mencuri data atau PIN nasabah itu sampai diberi baterai tambahan. Hal itu untuk mempertahankan lamanya alat itu bekerja. "Alat itu kan untuk melihat seseorang memasukkan PIN kemudian terekam. Lalu kemudian juga ada laptop. Ini digunakan untuk memindahkan data. Jadi setelah seseorang memasukkan kartu kemudian dicabut kemudian bisa dilihat, ini juga ada beberapa hardisk," terangnya.
"Data-data yang sudah masuk digunakan ke dalam harddisk dimasukkan ke dalam komputer untuk dipindahkan ini juga ada beberapa alat lain ini dimasukkan kedalaman negeri kemudian digunakan untuk kejahatannya," sambungnya.
Kelima tersangka itu ditangkap di De Park Cluster Kayu Putih Blok AB 6 Nomor 3, Serpong, Tangerang, Banten, di Bohemia Vilage 1 Nomor 57, Serpong, Tangerang, di Hotel Grand Serpong Tangerang, dan di Hotel De Max Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.
Para tersangka dikenakan Pasal 363 KUHP dan atau Pasal 46 Jo Pasal 30 dan Pasal 47 Jo Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-undang RI No. 19 tahun 2016 atas perubahan undang-undang RI No. 11 tahun 2008 tentang ITE dan atau Pasal 3, 4 dan 5 Undang-undang RI No. 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

9. MK Kabulkan Sebagian Uji Materi UU ITE oleh Setya Novanto

Metrotvnews.com, Jakarta: Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian uji materi UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang diajukan oleh Setya Novanto. Dengan putusan ini, maka tiap penyadapan hanya boleh dilakukan untuk keperluan hukum dan seizin penegak hukum sesuai aturan yang berlaku. Novanto mengajukan uji materi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang teregistrasi dengan nomor perkara 20/PUU-XIV/2016.
             Novanto merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE yang mengatur bahwa informasi atau dokumen elektronik merupakan salah satu alat bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan yang sah. Novanto juga merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 26A UU KPK yang menyatakan alat bukti yang sah berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, dan disimpan secara elektronik dengan alat serta dokumen yang setiap rekaman data atau infomrasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik.
           Majelis Hakim mengabulkan sebagian permohonan Novanto. "Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Arief Hidayat dalam sidang di Mahkamah Konsitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (7/9/2016). Arief mengatakan, frasa 'informasi elektronik dan atau dokumen elektronik' dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 huruf b Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bertentangan dengan UUD tahun 1945, sepanjang tak dimaknai sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian atau penegak hukum lain berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) dan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
              Dalam putusan ini terdapat dua hakim yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna berpendapat pemohon tak mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan ini. Kata dia, pemohon merupakan perorangan yang memiliki status sebagai anggota DPR. Padahal, Mahkamah telah berkali-kali menyatakan pendirian seseorang dengan status anggota DPR tak memiliki kedudukan hukum sebagai pemohon pengujian UU terhadap UUD 1945.
            "Sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan hukum putusan-putusan Mahkamah sebelumnya," kata Gede Palguna. Mahkamah, kata dia, hanya menerima kedudukan hukum anggota DPR dalam pengujian UUD 1945 dalam hal yang sangat khusus. Sedangkan, materi norma UU yang dimohonkan penguji tak masuk dalam salah satu dari materi norma UU yang sangat khusus ini. "Saya berpendapat bahwa Mahkamah seharusnya memutus dan menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima," kata dia.
Tindakan Penyadapan Melawan Hukum
           Hakim Konstitusi Suhartoyo memiliki pendapat yang berbeda. Suhartoyo menilai tindakan penyadapan atau perekaman adalah tindakan melawan hukum karena melanggar privasi orang lain. "Sehingga melanggar hak asasi manusia," kata Suhartoyo. Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 menyatakan, untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Dari ketentuan Pasal UUD 1945 a quo, kata Suhartoyo, penyadapan hanya boleh dilakukan berdasarkan undang-undang.
          Dalam konteks penegakkan hukum, kata dia, penyadapan seharusnya sangat dibatasi untuk menghindari potensi penggunaan penyadapan secara sewenang-wenang. Mahkamah Konstitusi pun pernah mengeluarkan putusan Nomor 5/PPU-VIII/2010 yang menyatakan penyadapan sebagai bentuk pelanggaran hak privasi seseorang.
          "UU ITE sebenarnya sudah mengatur secara rinci bahwa setiap orang dilarang melakukan intersepsi atau penyadapan yang ditentukan dalam BAB VII perbuatan yang dilarang, khususnya Pasal 31 ayat (1). Dari ketentuan Pasal 31 ayat (1) tersebut maka setiap orang dilarang melakukan perekaman terhadap orang lain, dan terhadap pelaku perekaman dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dikenakan sanksi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 46 ayat (1)," kata Suhartoyo.


1.            10. Ini Modus Tersangka WNA Bulgaria Jalankan Aksi Skimming Nasabah 

TEMPO.CO, Jakarta -Seorang Warga Negara Asing atau WNA berinisial KVB, 41 tahun, menjadi tersangka baru dalam kasus pembobolan data rekening nasabah alias skimming 13 bank di Indonesia.
KVB yang asal Bulgaria itu ditangkap oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya saat sedang beraksi di ATM Bank Mandiri, Jl. Juanda, Jakarta Pusat atas bantuan seorang satpam yang tengah berjaga.
"Kami berhasil menangkap WNA Bulgaria, dimana tersangka ditangkap oleh satpam yang berjaga di ATM tersebut," kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Nico Afinta di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Senin, 19 Maret 2018, saat merilis tersangka baru skimming tersebut.
KVB datang ke Indonesia pada September 2017 atas perintah tersangka PETCHO yang kini masuk dalam Daftar Percarian Orang (DPO) yang tinggal di Bulgaria. Setelah KVB sampai di Indonesia, PETCHO mengirimkan data-data nasabah bank yang sudah ia curi terlebih dahulu.
Data-data tersebut dipindahkan KVB ke kartu kosong yang sudah disediakan dengan menggunakan Deep Skimmer. Setelah data nasabah terekam, KVB langsung melakukan transaksi seperti biasa di beberapa ATM Bank Mandiri di Jakarta.
"Tersangka diberikan imbalan sebesar 20 persen dari nilai uang yang berhasil ditransaksikan," ujar Nico.
KVB berhasil meraup uang sampai Rp 77 juta selama ia beraksi. KVB akan dikenakan Pasal 263 KUHP, Pasal 363 KUHP, dan atau pasal 47 Jo pasal 30 dan pasal 47 Jo pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 atas perubahan undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dan atau pasal 3,4 dan 5 Undang-undang Nomor. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sebelumnya, polisi sudah terlebih dulu menangkap 3 orang berkewarganegaraan Rumania, 1 berkewarganegaraan Hungaria, dan 1 warga Indonesia dalam kasus skimming ini.
Para tersangka telah melakukan aksi kejahatan skimming ini selama empat bulan terakhir, dari Oktober 2017 hingga Februari 2018. Praktik skimming oleh pelaku pun, kata Nico, tidak hanya dilakukan di Indonesia, namun di 20 negara lain seperti Australia, Jerman, Amerika Serikat, hingga Afrika Selatan. "Mereka berpindah-pindah, jadi tidak bertahan lama di satu lokasi," ujar Nico.

 









Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Wisata Kayong Utara