Pembobol Situs DKPP Ingin Tunjukkan Eksistensi
JAKARTA, KOMPAS.com — Penyidik Direktorat
Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri telah menangkap pelaku pembobol
situs Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Pelaku yang diketahui
bernama Harison alias Chmod755 alias Setan Dari Surga asal Sumatera Utara.
Kepada penyidik, Harison mengaku ingin membuktikan eksistensinya di dunia maya
dengan membobol laman lembaga pemilu tersebut. “Tersangka ditangkap motivasinya
hanya ingin menunjukkan eksistensinya di dunia maya. Ini loh aku sudah bisa
hack, terobos,” kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri
Brigjen (Pol) Arief Sulistyanto di Mabes Polri, Rabu (8/1/2014). Arief
menerangkan, pelaku beraksi dengan cara mengubah (defacing) tampilan situs
DKPP.
Seperti diketahui, situs DKPP biasanya
menampilkan tayangan kegiatan sidang sengketa pemilu. Namun, setelah diretas,
situs tersebut berubah menjadi gelap dan hanya ada tulisan "MBT"
berwarna merah yang menunjukkan kode alias pelaku. Meski terkesan tak terlalu
berbahaya, Arief menambahkan, tindakan defacing yang dilakukan pelaku tetap
dianggap sebagai sebuah tindakan pidana. Pasalnya, pelaku secara ilegal telah
mengubah tampilan laman milik pihak lain. “Jangan dilihat sepelenya.
Perbuatannya tetap masuk ke dalam sistem elektronik IT yang sudah dirancang
orang lain itu ibaratnya masuk rumah tanpa izin,” katanya.
2. "Hacker" Pemasok Dana Terorisme Terkena Pasal Berlapis
JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Penuntut Umum,
Yulianis dan Rani Hartati, menuntut tersangka pelaku kegiatan terorisme di
Poso, Cahya Fitrianta (26) dengan pasal berlapis. Ia didakwa atas tindakan
permufakatan jahat dan menukarkan harta kekayaan yang menjadi bagian dari
tindak pidana terorisme. Karena tindakan itulah, Cahya dijerat pasal berlapis
yaitu Pasal 15 UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Teroris,
Pasal 3 UU No.8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan Pasal 30
ayat (3) UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE).
"Hacking ini dilakukan untuk mengumpulkan dana. Sebagian dana untuk
ummahat ihwan sebesar Rp 220 juta, sedangkan untuk pemboman gereja di Solo juga
didanai Rp 200 juta," kata Yulianis, Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan
Negeri Jakarta Barat, Senin (8/10/2012). Yulianis menambahkan, hasil dana yang
didapatkan dari kegiatan hacking terhadap situs bisnis investasi tersebut ia
gunakan untuk mendanai pembelian senjata api, bahan peledak, dan dana oprasional
latihan militer di Poso. Dana tersebut ia dapatkan dari membajak situs
www.speedline.com kemudian hasil bajak tersebut ia jual dengan kurs Euro.
Yulianis mengatakan, uang yang didapat dari hasil bajak situs investasi
tersebut sebanyak Rp 460,3 juta. Kemudian dibagi ke dalam tiga rekening, dua
rekening milik istrinya, dan satu rekening miliknya pribadi. Kemudian, istri
pelaku, Nurul Azmi, menyimpan uang di dalam rekening BCA dan Mandiri, sedangkan
di rekening milik pribadi Cahya ia simpan di rekening BCA atas nama Najmudin.
Ia juga lakukan transfer ulang uang di sejumlah ATM untuk menghilangkan jejak
investasi online tersebut. "Uang yang ada dalam tiga rekening itu
ditariknya, lalu ditransfer lagi ke rekening terdakwa dengan nama yang berbeda,"
kata JPU lainnya Rini Hartati. Saat persidangan berlangsung, terdakwa tidak
ditemani kuasa hukumnya karena ia ingin mengganti kuasa yang mengurus dakwanya
sejak pembuatan Berkas Acara Pemeriksaan (BAP). Ia hanya mendengarkan dakwaan
yang dibacakan JPU. Cahya ditangkap Densus 88 di sebuah penginapan daerah
Bandung. Ia mendekam di penajra sejak 22 Maret 2012. Sidang akan dilanjutkan
Selasa (16/10/2012) dengan agenda pengajuan eksepsi.3. Go-Jek Inisiasi Gerakan #HapusTuyul
KOMPAS.com — Istilah "tuyul" pada layanan ojek online merupakan kecurangan karena pengemudi menggunakan aplikasi " fake GPS" untuk mendapat penumpang meski berada jauh dari lokasi. Penggunaan "tuyul" bisa merugikan konsumen karena mengacaukan estimasi waktu kedatangan driver. Selain itu, aplikasi GPS palsu ini juga digunakan untuk membuat order fiktif. Dengan order fiktif ini, pengemudi bisa meraup keuntungan bahkan tanpa harus beranjak dari tempatnya. Aplikasi ini disebut "tuyul" karena pengemudi seolah-olah mendapat penumpang, lalu mengantarnya sampai ke tempat tujuan. Padahal, pengemudi ojek online tersebut hanya diam di tempat. Melihat masalah ini, Go-Jek menginisiasi gerakan #HapusTuyul. Vice President Corporate Communication Go-Jek Michael Say mengatakan, Go-Jek tengah mengembangkan sistem yang dapat mendeteksi apakah si pengemudi menggunakan GPS palsu atau tidak. "Sekarang kami hapus para tuyul supaya teman-teman bisa fair play," ujar Michael dalam pertemuan dengan mitra pengemudi, seperti dirangkum KompasTekno dari rekaman video yang diunggah di akun resmi Twitter Go-Jek, Kamis (22/3/2018). Penggunaan aplikasi "tuyul" memang merupakan tindak kecurangan yang merugikan dua belah pihak baik driver maupun konsumen. Beberapa oknum mitra (driver) yang menggunakan aplikasi tuyul ini mendapat keuntungan dengan cara tidak adil. Padahal, penggunaan aplikasi GPS palsu justru akan membahayakan data dari akun mitra tersebut. "Pesannya satu, tolong jangan menormalisasi hal-hal ini (tuyul), apalagi kita bicara perlindungan data. Ini (GPS palsu) adalah aplikasi pihak ketiga," lanjutnya. Baca juga: Begini Cara Go-Jek agar Mitra Tidak Pakai Tuyul Maraknya aksi tuyul sudah terjadi sejak beberapa waktu lalu. Bahkan, pada Februari lalu, Polda Metro Jaya menangkap 12 orang tersangka yang membuat order fiktif dengan menggunakan aplikasi tuyul ini. Dengan menggunakan aplikasi tuyul, para sopir taksi maupun ojek online ini tak perlu repot-repot melayani pelanggan. Mereka tinggal membuat order fiktif, lalu order tersebut diterima dirinya sendiri dengan akun lain dan secara otomatis kendaraan yang terlihat pada GPS di aplikasi bergerak seolah-olah tengah melayani penumpang. Pelaku order fiktif ini terancam hukuman pidana yang dapat dikenai Pasal 30 Ayat (3) juncto Pasal 46, dan atau Pasal 32 Ayat (1) juncto Pasal 48, dan atau Pasal 35 juncto Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dengan ancaman pidana 8-12 tahun penjara dan atau Pasal 378 KUHP dengan pidana paling lama 4 tahun penjara.4. Curi Pulsa, 7 Peretas Server Telkomsel Ditangkap
JAKARTA, KOMPAS.com - Aparat Badan Reserse
Kriminal Mabes Polri menangkap tujuh pelaku pencuri pulsa dengan cara meretas
server milik PT Telkomsel. Aksi pencurian pulsa yang diduga dilakukan sejak
2010 itu ditaksir telah merugikan perusahaan operator seluler tersebut hingga
puluhan miliar rupiah. "Aksi ini diketahui pada saat diaudit keuangan
provider tersebut. Ternyata, jumlah pulsa yang dijual dengan keuangan yang
diterima jauh berbeda. Pihak Telkomsel mengaku rugi Rp10 miliar, dari pihak
pelaku Rp 4 miliar. Tapi jumlah ini belum kita pastikan karena masih
diaudit," ujar Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Saud Usman
Nasution, Senin (9/1/2012) di Jakarta. Saud mengatakan, penangkapan itu berlangsung
pada Jumat (6/1/2012). Tujuh penyusup yang ditangkap berinisial FA, AH, MA, SP,
DY, IA, dan LK. Saat menjalankan aksinya, FA dibantu AH untuk membobol server
Telkomsel. Kedua pelaku itu dibantu oleh MA dalam menyiapkan script untuk
memfasilitasi pencurian pulsa tersebut. "Kemudian ada tersangka SP yang
ikut membantu membobol server, menyiapkan script, dan melaksanakan pencurian
pulsa serta menjual ke masyarakat. Kemudian DY membantu melakukan
penjebolan server, mencuri, dan ikut juga penjual pulsa bersama IA dan LK. Jadi
mereka ini pemain sekaligus penjual dengan rekan-rekanya," papar Saud.
Ketujuh pelaku itu awalnya tidak langsung
menjual pulsa curian kepada masyarakat. Mereka terlebih dahulu menggunakan
pulsa itu untuk kepentingan pribadi. Setelah mencoba berkali-kali dan berhasil,
para pelaku memberanikan diri memasarkan pulsa curian secara online melalui
situs web. Selain menangkap pelaku, aparat Polri mengamankan sejumlah barang
bukti, di antaranya empat CPU, empat laptop, enam flashdisk, dua harddisk
eksternal, satu modem, satu unit token BCA, satu buku tabungan Bank Syariah
Mandiri, satu buku tabungan Bank Mandiri, dan empat buku tabungan BCA. Selain
itu, ditemukan juga satu kartu ATM BCA, satu bundel kuitansi pembayaran, satu
lembar sertifikat tanah, dua buah handphone, dua unit kendaraan roda empat, dua
unit kendaraan roda dua, dua simcard AS untuk transaksi pulsa, serta 20 simcard
dari berbagai provider yang digunakan oleh pelaku. "Barang bukti sudah
diamankan dan tujuh pelaku kini ditahan di tahanan Bareskrim," kata Saud.
Akibat perbuatannya, ketujuh tersangka dijerat dengan Pasal 363 KUHP jo Pasal
50, Pasal 22 huruf D UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi serta atau
Pasal 46 ayat 1, 2, dan 3 jo Pasal 30 ayat 1, 2, dan 3 UU Nomor 11 Tahun 2008
tentang ITE, dan atau Pasal 3, 4 dan 5 UU 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
5. Pembobol Situs Polri Terancam 8
Tahun Penjara
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Belum
berhasil menangkap si pelaku, Kepolisian Republik Indonesia, www.polri.go.id,
telah mengumumkan bahwa pembobol situs resmi mereka terancam delapan tahun
penjara, sebagaimana Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Dengan ancaman hukuman delapan tahun
penjara," ujar Kabag Penum Polri, Kombes Pol Boy Rafli Amar di Mabes
Polri, Jakarta, Selasa (17/5/2011).
Alamat situs
resmi Polri, www.polri.go.id, dibajak oleh pihak tak bertanggung jawab sejak
Senin (16/5/2011) kemarin. Saat
pertama mengakses situs tersebut, ditemui kegagalan. Domain tersebut tidak bisa
diakses sama sekali. Namun, setelah itu para pengakses situs diarahkan ke
alamat http://www.polri.go.id/backend/index.html. Setelah itu, muncul muncul
gambar dua orang sedang mengangkat bendera di atas sebuah bukit, disertai
tulisan kalimat-kalimat Jihad.
Boy
menjelaskan, perusakkan terhadap konten situs Polri adalah kejahatan dunia maya
(cyber crime). Dan cyber crime termasuk kejahatan lintas-batas atau
transnasional. Karenanya, ancaman hukuman bagi pelaku kejahatan transnasional
ini terbilang berat.
Pasal 30 ayat 3 UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE, berbunyi
"Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses
Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos,
melampaui, atau menjebol sistem pengamanan."
Dalam
Pasal 46 ayat (3) UU ITE juga disebutkan, setiap orang yang melanggar Pasal 30
ayat (3) dipidana penjara paling lama delapan tahun dan/atau denda paling
banyak Rp800 ribu.
Dia
menambahkan, saat ini tim cyber crime Polri tengah menelusuri pengirim atau
peretas situs mereka. Karenanya, sementara situs tidak bisa dinonaktifkan.
6. Bareskrim Harus Usut Pembobol Komputer Perusahaan Bakrie
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim)
Mabes Polri harus serius menyelidiki perkara pembajakan telepon dan akun email
perusahaan Bakrie Group oleh para peretas yang diduga merupakan pihak asing.
"Pembajakan jaringan telepon dan
email perusahaan tersebut merupakan preseden buruk bagi dunia usaha, apalagi
menyangkut perusahaan besar nasional," ujar Anggota Komisi III DPR Bidang
Hukum, Indra.
Indra menegaskan, saat ini telah
banyak korban kejahatan internet dengan cara membobol atau mengakses informasi
elektronik milik pihak lain untuk kepentingan tertentu. Ia mendorong Polri
untuk bertindak lebih cekatan dibandingkan dengan para peretas (hacker).
"Ini bukan karena perusahaan Bakrie. Tapi cyber crime ini sangat berbahaya. Ketika jaringan internet milik perusahaan besar saja dibobol, itu kan berbahaya. Komisi III akan mempertanyakan soal ini dalam rapat kerja mendatang (dengan Polri)," kata Indra kepada wartawan di Jakarta, Rabu (7/11/2012).
"Ini bukan karena perusahaan Bakrie. Tapi cyber crime ini sangat berbahaya. Ketika jaringan internet milik perusahaan besar saja dibobol, itu kan berbahaya. Komisi III akan mempertanyakan soal ini dalam rapat kerja mendatang (dengan Polri)," kata Indra kepada wartawan di Jakarta, Rabu (7/11/2012).
Indra menambahkan, UU Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memberikan payung bagi penegak
hukum untuk mengambil tindakan tegas terhadap para peretas.
"Peralatan yang dimiliki
Bareskrim sudah cukup. Untuk kejahatan internet yang dilakukan oleh para
teroris saja Bareskrim mampu mengungkap, apalagi kejahatan cyber yang hanya membobol
atau mengakses informasi perusahaan," kata politisi Partai Keadilan
Sejahtera itu.Seperti yang diberitakan sebelumnya, karyawan bagian Finance PT.
Bumi Resources Tbk Fuad Helmy membuat laporan di Bareskrim Polri pada 11
Oktober 2012 bernomor No. Pol: TBL/405/X/2012/Bareskrim.
Perkara yang dilaporkan adalah tindak
pidana pencurian dan/atau perusakan dan/atau dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain
dengan cara apapun dengan tujuan untuk memperoleh informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem
pengamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 362 KUHP dan/atau Pasal 406 KUHP
dan/atau Pasal 30 Ayat (3) jo Pasal 46 Ayat (3) UU ITE. Waktu kejadian tertulis
dalam Laporan Polisi itu pada Agustus 2012. Terlapor dituliskan masih dalam
penyelidikan.
Pada Rabu, 10 Oktober 2012, Group
Senior Vice President Bakrie Group, Christopher Fong, mengungkapkan mengenai
dugaan terjadinya pembajakan akun email dan telepon perusahaan.
Fong mengatakan, pihaknya telah
memiliki informasi mengenai pihak yang meretas akun email dan telepon
perusahaan, yang disebutnya sebagai tindakan ilegal tersebut.
Sebagai catatan, perkara pembajakan
itu mencuat seiring merenggangnya hubungan bisnis antara pihak Bakrie dan
Nathaniel Rotschild, seorang financial engineer Yahudi asal Inggris, menyangkut
kepemilikan saham Bumi Plc.
7. Pembajak Situs Polri Manfaatkan Momen
Penyergapan Teroris
TRIBUNNEWS.COM,
JAKARTA - Pengamat
terorisme, Wawan Purwanto, mengatakan bahwa peretas (hacker) yang mampu
menjebol situs Polri dapat berasal dari mana saja.Namun kemungkinan, pelaku
memanfaatkan momen saat Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri melakukan
penyergapan terhadap terduga teroris Sigit Qurdowi.
"Menurut saya, orang yang mencari
perhatian dan memancing di air keruh," kata Wawan ketika dihubungi
Tribunnews.com, Kamis (19/5/2011).
Wawan kemudian meminta kepolisian untuk secepatnya mengungkap kasus tersebut agar dapat diketahui motif pelaku melakukan hack terhadap situs Polri.
"Sebenarnya arah ajakan jihad itu
bisa ditelusuri pengunggahnya," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan situs alamat
resmi Polri dibajak di dunia maya. Berdasarkan penelusuran Tribunnews.com, saat
pertama mengakses situs resmi Polri di alamat www.Polri.go.id menemui
kegagalan.
Domain tersebut tidak bisa diakses
sama sekali. Namun, setelah itu para pengguna internet diarahkan ke alamat
http://www.polri.go.id/backend/index.html.
Alangkah terkejutnya ketika berhasil
diakses muncul gambar dua orang sedang mengangkat bendera di atas sebuah bukit.
Perusakkan terhadap konten situs Polri adalah kejahatan dunia maya (cyber
crime).
Dan cyber crime termasuk kejahatan
lintas-batas atau transnasional. Karenanya, ancaman hukuman bagi pelaku
kejahatan transnasional ini terbilang berat.
Pasal 30 ayat 3 UU No 11 Tahun 2008
tentang ITE, berbunyi "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik dengan cara apa pun
dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan."
Dalam Pasal 46 ayat (3) UU ITE juga
disebutkan, setiap orang yang melanggar Pasal 30 ayat (3) dipidana penjara
paling lama delapan tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800 ribu.
8. Pakar Hukum: Data Dicuri, Pengguna Bisa Tuntut Facebook
JAKARTA, KOMPAS.com - Sebanyak 50 juta
data pengguna Facebook bocor ke tangan pihak yang tidak berhak. Dari puluhan
juta itu, satu juta akun di antaranya dipastikan merupakan data pengguna di
Indonesia. Apa yang bisa dilakukan oleh pengguna Facebook di Indonesia yang
datanya dicuri? Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul
Fickar Hadjar mengungkapkan, UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE) memungkinkan hal itu terjadi. "Ya, FB sebagai
korporasi bisa dituntut secara pidana meskipun hukumannya pun hanya
denda," ujar Abdul Fickar kepada Kompas.com, Jakarta, Jumat (6/4/2018).
Baca juga : 1 Juta Data Pengguna Indonesia Bocor, Ketua DPR Usul Bentuk Pansus
Facebook
UU ITE menyatakan, setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melawan hukum mengakses komputer dan atau sistem elektronik dengan cara apapun, dengan tujuan memperoleh informasi elektronik dan dokumen elektronik, maka bisa dipidana. Ketentuan itu terdapat pada Pasal 30 ayat 1-3 dan Pasal 46 ayat 1-3 UU ITE. Pidananya, mulai dari hukuman 6-8 tahun penjara dengan denda Rp 600 juta hingga RP 800 juta. Sementara, pada Pasal 38 ayat 1-2 ditegaskan kembali bahwa setiap orang atau masyarakat dapat mengajukan gigitan kepada pihak yang menyelengarakan sistem elektronik dan atau menggunakan teknologi informasi yang menimbulkan kerugian masyarakat. Baca juga : Zuckerberg Tenangkan Investor, Saham Facebook Menguat Bahkan, kata Abdul Fickar, tidak hanya FB yang bisa digugat. Jika FB bisa membuktikan kebocoran dilakukan oleh pihak ketiga melalui aplikasi-aplikasi yang masuk ke FB, maka pihak ketiga juga dapat dijadikan subjek penuntutan. "Tetapi FB bisa dihukum karena ketidak hati-hatiannya," kata dia. Menurut dia, pencurian data pengguna FB merupakan penyalahgunaan data pribadi.
UU ITE menyatakan, setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melawan hukum mengakses komputer dan atau sistem elektronik dengan cara apapun, dengan tujuan memperoleh informasi elektronik dan dokumen elektronik, maka bisa dipidana. Ketentuan itu terdapat pada Pasal 30 ayat 1-3 dan Pasal 46 ayat 1-3 UU ITE. Pidananya, mulai dari hukuman 6-8 tahun penjara dengan denda Rp 600 juta hingga RP 800 juta. Sementara, pada Pasal 38 ayat 1-2 ditegaskan kembali bahwa setiap orang atau masyarakat dapat mengajukan gigitan kepada pihak yang menyelengarakan sistem elektronik dan atau menggunakan teknologi informasi yang menimbulkan kerugian masyarakat. Baca juga : Zuckerberg Tenangkan Investor, Saham Facebook Menguat Bahkan, kata Abdul Fickar, tidak hanya FB yang bisa digugat. Jika FB bisa membuktikan kebocoran dilakukan oleh pihak ketiga melalui aplikasi-aplikasi yang masuk ke FB, maka pihak ketiga juga dapat dijadikan subjek penuntutan. "Tetapi FB bisa dihukum karena ketidak hati-hatiannya," kata dia. Menurut dia, pencurian data pengguna FB merupakan penyalahgunaan data pribadi.
Pelanggaran hukumnya tidak lagi bersifat
keperdataan karena sudah memasuki ranah yang bersifat kepentingsn umum, dan
bisa dikualifikasi sebagai kejahatan. Baca juga : 9 April, Facebook Ungkap
Siapa Saja Pengguna Indonesia yang Dicuri Datanya Rencananya, Facebook akan
memberi tahu akun siapa saja yang datanya telah diambil Cambridge Analytica,
termasuk pengguna asal Indonesia. Pemberitahuan itu akan ditampilkan lewat
sebuah tautan yang ditempel di newsfeed paling atas di akun masing-masing pada
Senin (9/4/2018) pekan depan. Hal itu sesuai dengan apa yang ditulis
dalam situs Newsroom Facebook yang di-posting pada Rabu (4/4/2018). Dalam
sebuah pernyataan yang diunggah di akun Facebook resminya, pendiri dan CEO Facebook,
Mark Zuckerberg meminta maaf pada pengguna dan menjanjikan sistem yang lebih
aman untuk melindungi privasi data.
9. Bobol Sistem Pengisian Pulsa Sebesar Rp 11 Juta, NR Diciduk Polisi
JAKARTA, KOMPAS.com - NR, warga
Tulungagung, Jawa Timur diringkus polisi lantaran meretas sistem POS pengisian
pulsa milik perusahaan waralaba minimarket. Ia membobol pulsa di perusahaan
tersebut selama enam jam hingga mencapai Rp 11,6 juta. Kasubdit Cyber Crime
Ditreskrimsus Polda Metro Jaya AKBP Roberto Pasaribu mengatakan, penangkapan
tersebut berdasarkan laporan dari kantor pusat PT Indomarco Prismatama ke Polda
Metro Jaya pada 6 Mei 2016 lalu. Mereka melaporan terkait adanya pencurian
pulsa pada sistem POS pengisian pulsa di 13 toko Indomaret di Jawa Timur dan Kalimantan.
"Tersangka NR berhasil menyedot pulsa Indomaret selama enam jam mencapai
Rp 11,6 juta," ujar Roberto ketika dikonfirmasi Kompas.com, Kamis
(18/8/2016). Roberto menjelaskan, dalam menjalankan aksinya NR menggunakan
alamat server pusat, kemudian masuk pada server cabang dan langsung menjalankan
aplikasi POS pengisian pulsa. Kemudian sistem itu mengikuti perintah untuk
melakukan pengisian pulsa ke nomor ponsel yang dituju. Setelah berhasil
membobolnya, NR mengumpulkan pulsa-pulsa tersebut dan disimpan dalam 13 nomor
provider berbeda. Kemudian, barulah tersangka memperjual belikan pulsa itu di
forum jual beli online. "Dia menjual pulsa dengan harga lebih rendah
daripada yang di pasaran. Misalnya pulsa Rp 100.000 dia jual seharga Rp
80.000," ucapnya. Akibat perbuatannya, pelaku terancam dijerat Pasal 30
ayat (1) Jo pasal 46 ayat (1) dan atau pasal 30 ayat (2) Jo pasal 46 ayat (2)
dan atau pasal 30 ayat (3) Jo pasal 46 ayat (3) UU RI Nomor 11 Tahun 2008
tentang ITE dan atau pasal 362 KUHP dengan ancaman hukuman penjara delapan
tahun.
10. Haikal Tersangka Hacker Ribuan Situs, Polisi: Dia Pemuda Tertutup
TEMPO.CO, Jakarta – Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi
Hubungan Masyarakat Polri Komisaris Besar Martinus Sitompul mengatakan
tersangka peretas situs penjualan tiket online, Sultan Haikal,
merupakan pemuda yang tertutup. Dia jarang bergabung dengan orang lain.
”Waktu penangkapan, orang kaget, dia hanya lulusan SMP tapi
bisa membobol ribuan situs,” ucap Martin di kantornya, Markas Besar Polri,
Jakarta Selatan, Jumat, 7 April 2017.
Martin
menerangkan, Polri berupaya merangkul hacker yang ada. Tapi, khusus
untuk kasus ini, kata dia, karena Haikal telah melakukan pelanggaran hukum atau
kejahatan, polisi mengedepankan hukuman untuk dia untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya.
”Baru setelah itu kami pihak kepolisian bisa melakukan
komunikasi, katakanlah untuk merekrut sebagai ahli dalam membantu penegakan
hukum,” ujarnya. “Tapi setelah dia menjalani hukuman.” Soal pembinaan terhadap
Haikal, Polri menyerahkan kepada lembaga pemasyarakatan.
Menurut catatan kepolisian, Haikal bernama lengkap Sultan
Haikal M. Aziansyah alias Emre alias Sultan Ekel. Dia ditangkap di Pesona
Gintung Residen Blok F Nomor 29, Kelurahan Cempaka Putih, Kecamatan Ciputat
Timur, Kota Tangerang Selatan, Kamis, 30 Maret 2017. Dia diduga sebagai
pembobol situs Tiket.com bersama tiga teman yang dikenalnya lewat Facebook.
Polisi menyita sejumlah barang bukti dari penangkapan Haikal
dan tiga kawannya, seperti 4 ponsel merek iPhone, 3 ponsel Samsung, 3 kartu
ATM, 2 kartu SIM, 2 laptop, buku tabungan Bank BCA dengan isi Rp 212 juta, dan router
Wi-Fi. Ada juga kartu mahasiswa, sepeda motor, 1 unit rumah di Kalimantan
Timur, dan uang Rp 212 juta dari tabungan itu.
”Tersangka
Haikal masih dilakukan pendalaman karena membutuhkan keterangan dari pihak bank
tentang mutasi rekeningnya sehingga masih kami tunggu hasil dari pihak bank,”
ujar Martinus.
Haikal
dan tiga tersangka lainnya diduga memenuhi unsur Pasal 46 ayat 1, 2, dan 3 juncto
Pasal 30 ayat 1, 2, dan 3, dan/atau Pasal 51 ayat 1 dan 2 juncto Pasal
35 dan/atau Pasal 36 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
dan/atau Pasal 363 KUHP dan/atau Pasal 3, Pasal 5, serta Pasal 10 tentang
Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar