Rabu, 25 April 2018

Contoh Kasus Pasal 30 Ayat 3


  1. Pembobol Situs DKPP Ingin Tunjukkan Eksistensi


JAKARTA, KOMPAS.com — Penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri telah menangkap pelaku pembobol situs Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Pelaku yang diketahui bernama Harison alias Chmod755 alias Setan Dari Surga asal Sumatera Utara. Kepada penyidik, Harison mengaku ingin membuktikan eksistensinya di dunia maya dengan membobol laman lembaga pemilu tersebut. “Tersangka ditangkap motivasinya hanya ingin menunjukkan eksistensinya di dunia maya. Ini loh aku sudah bisa hack, terobos,” kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen (Pol) Arief Sulistyanto di Mabes Polri, Rabu (8/1/2014). Arief menerangkan, pelaku beraksi dengan cara mengubah (defacing) tampilan situs DKPP.
Seperti diketahui, situs DKPP biasanya menampilkan tayangan kegiatan sidang sengketa pemilu. Namun, setelah diretas, situs tersebut berubah menjadi gelap dan hanya ada tulisan "MBT" berwarna merah yang menunjukkan kode alias pelaku. Meski terkesan tak terlalu berbahaya, Arief menambahkan, tindakan defacing yang dilakukan pelaku tetap dianggap sebagai sebuah tindakan pidana. Pasalnya, pelaku secara ilegal telah mengubah tampilan laman milik pihak lain. “Jangan dilihat sepelenya. Perbuatannya tetap masuk ke dalam sistem elektronik IT yang sudah dirancang orang lain itu ibaratnya masuk rumah tanpa izin,” katanya.

    2. "Hacker" Pemasok Dana Terorisme Terkena Pasal Berlapis

JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Penuntut Umum, Yulianis dan Rani Hartati, menuntut tersangka pelaku kegiatan terorisme di Poso, Cahya Fitrianta (26) dengan pasal berlapis. Ia didakwa atas tindakan permufakatan jahat dan menukarkan harta kekayaan yang menjadi bagian dari tindak pidana terorisme. Karena tindakan itulah, Cahya dijerat pasal berlapis yaitu Pasal 15 UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Teroris, Pasal 3 UU No.8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan Pasal 30 ayat (3) UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE).
"Hacking ini dilakukan untuk mengumpulkan dana. Sebagian dana untuk ummahat ihwan sebesar Rp 220 juta, sedangkan untuk pemboman gereja di Solo juga didanai Rp 200 juta," kata Yulianis, Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Senin (8/10/2012). Yulianis menambahkan, hasil dana yang didapatkan dari kegiatan hacking terhadap situs bisnis investasi tersebut ia gunakan untuk mendanai pembelian senjata api, bahan peledak, dan dana oprasional latihan militer di Poso. Dana tersebut ia dapatkan dari membajak situs www.speedline.com kemudian hasil bajak tersebut ia jual dengan kurs Euro. Yulianis mengatakan, uang yang didapat dari hasil bajak situs investasi tersebut sebanyak Rp 460,3 juta. Kemudian dibagi ke dalam tiga rekening, dua rekening milik istrinya, dan satu rekening miliknya pribadi. Kemudian, istri pelaku, Nurul Azmi, menyimpan uang di dalam rekening BCA dan Mandiri, sedangkan di rekening milik pribadi Cahya ia simpan di rekening BCA atas nama Najmudin. Ia juga lakukan transfer ulang uang di sejumlah ATM untuk menghilangkan jejak investasi online tersebut. "Uang yang ada dalam tiga rekening itu ditariknya, lalu ditransfer lagi ke rekening terdakwa dengan nama yang berbeda," kata JPU lainnya Rini Hartati. Saat persidangan berlangsung, terdakwa tidak ditemani kuasa hukumnya karena ia ingin mengganti kuasa yang mengurus dakwanya sejak pembuatan Berkas Acara Pemeriksaan (BAP). Ia hanya mendengarkan dakwaan yang dibacakan JPU. Cahya ditangkap Densus 88 di sebuah penginapan daerah Bandung. Ia mendekam di penajra sejak 22 Maret 2012. Sidang akan dilanjutkan Selasa (16/10/2012) dengan agenda pengajuan eksepsi.

      3. Go-Jek Inisiasi Gerakan #HapusTuyul

          KOMPAS.com — Istilah "tuyul" pada layanan ojek online merupakan kecurangan karena pengemudi menggunakan aplikasi " fake GPS" untuk mendapat penumpang meski berada jauh dari lokasi. Penggunaan "tuyul" bisa merugikan konsumen karena mengacaukan estimasi waktu kedatangan driver. Selain itu, aplikasi GPS palsu ini juga digunakan untuk membuat order fiktif. Dengan order fiktif ini, pengemudi bisa meraup keuntungan bahkan tanpa harus beranjak dari tempatnya. Aplikasi ini disebut "tuyul" karena pengemudi seolah-olah mendapat penumpang, lalu mengantarnya sampai ke tempat tujuan. Padahal, pengemudi ojek online tersebut hanya diam di tempat. Melihat masalah ini, Go-Jek menginisiasi gerakan #HapusTuyul. Vice President Corporate Communication Go-Jek Michael Say mengatakan, Go-Jek tengah mengembangkan sistem yang dapat mendeteksi apakah si pengemudi menggunakan GPS palsu atau tidak. "Sekarang kami hapus para tuyul supaya teman-teman bisa fair play," ujar Michael dalam pertemuan dengan mitra pengemudi, seperti dirangkum KompasTekno dari rekaman video yang diunggah di akun resmi Twitter Go-Jek, Kamis (22/3/2018). Penggunaan aplikasi "tuyul" memang merupakan tindak kecurangan yang merugikan dua belah pihak baik driver maupun konsumen. Beberapa oknum mitra (driver) yang menggunakan aplikasi tuyul ini mendapat keuntungan dengan cara tidak adil. Padahal, penggunaan aplikasi GPS palsu justru akan membahayakan data dari akun mitra tersebut. "Pesannya satu, tolong jangan menormalisasi hal-hal ini (tuyul), apalagi kita bicara perlindungan data. Ini (GPS palsu) adalah aplikasi pihak ketiga," lanjutnya. Baca juga: Begini Cara Go-Jek agar Mitra Tidak Pakai Tuyul Maraknya aksi tuyul sudah terjadi sejak beberapa waktu lalu. Bahkan, pada Februari lalu, Polda Metro Jaya menangkap 12 orang tersangka yang membuat order fiktif dengan menggunakan aplikasi tuyul ini. Dengan menggunakan aplikasi tuyul, para sopir taksi maupun ojek online ini tak perlu repot-repot melayani pelanggan. Mereka tinggal membuat order fiktif, lalu order tersebut diterima dirinya sendiri dengan akun lain dan secara otomatis kendaraan yang terlihat pada GPS di aplikasi bergerak seolah-olah tengah melayani penumpang. Pelaku order fiktif ini terancam hukuman pidana yang dapat dikenai Pasal 30 Ayat (3) juncto Pasal 46, dan atau Pasal 32 Ayat (1) juncto Pasal 48, dan atau Pasal 35 juncto Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dengan ancaman pidana 8-12 tahun penjara dan atau Pasal 378 KUHP dengan pidana paling lama 4 tahun penjara.

   4. Curi Pulsa, 7 Peretas Server Telkomsel Ditangkap 


JAKARTA, KOMPAS.com - Aparat Badan Reserse Kriminal Mabes Polri menangkap tujuh pelaku pencuri pulsa dengan cara meretas server milik PT Telkomsel. Aksi pencurian pulsa yang diduga dilakukan sejak 2010 itu ditaksir telah merugikan perusahaan operator seluler tersebut hingga puluhan miliar rupiah. "Aksi ini diketahui pada saat diaudit keuangan provider tersebut. Ternyata, jumlah pulsa yang dijual dengan keuangan yang diterima jauh berbeda. Pihak Telkomsel mengaku rugi Rp10 miliar, dari pihak pelaku Rp 4 miliar. Tapi jumlah ini belum kita pastikan karena masih diaudit," ujar Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution, Senin (9/1/2012) di Jakarta. Saud mengatakan, penangkapan itu berlangsung pada Jumat (6/1/2012). Tujuh penyusup yang ditangkap berinisial FA, AH, MA, SP, DY, IA, dan LK. Saat menjalankan aksinya, FA dibantu AH untuk membobol server Telkomsel. Kedua pelaku itu dibantu oleh MA dalam menyiapkan script untuk memfasilitasi pencurian pulsa tersebut. "Kemudian ada tersangka SP yang ikut membantu membobol server, menyiapkan script, dan melaksanakan pencurian pulsa serta menjual ke masyarakat. Kemudian DY membantu melakukan penjebolan server, mencuri, dan ikut juga penjual pulsa bersama IA dan LK. Jadi mereka ini pemain sekaligus penjual dengan rekan-rekanya," papar Saud.
Ketujuh pelaku itu awalnya tidak langsung menjual pulsa curian kepada masyarakat. Mereka terlebih dahulu menggunakan pulsa itu untuk kepentingan pribadi. Setelah mencoba berkali-kali dan berhasil, para pelaku memberanikan diri memasarkan pulsa curian secara online melalui situs web. Selain menangkap pelaku, aparat Polri mengamankan sejumlah barang bukti, di antaranya empat CPU, empat laptop, enam flashdisk, dua harddisk eksternal, satu modem, satu unit token BCA, satu buku tabungan Bank Syariah Mandiri, satu buku tabungan Bank Mandiri, dan empat buku tabungan BCA. Selain itu, ditemukan juga satu kartu ATM BCA, satu bundel kuitansi pembayaran, satu lembar sertifikat tanah, dua buah handphone, dua unit kendaraan roda empat, dua unit kendaraan roda dua, dua simcard AS untuk transaksi pulsa, serta 20 simcard dari berbagai provider yang digunakan oleh pelaku. "Barang bukti sudah diamankan dan tujuh pelaku kini ditahan di tahanan Bareskrim," kata Saud. Akibat perbuatannya, ketujuh tersangka dijerat dengan Pasal 363 KUHP jo Pasal 50, Pasal 22 huruf D UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi serta atau Pasal 46 ayat 1, 2, dan 3 jo Pasal 30 ayat 1, 2, dan 3 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, dan atau Pasal 3, 4 dan 5 UU 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

          5. Pembobol Situs Polri Terancam 8 Tahun Penjara

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Belum berhasil menangkap si pelaku, Kepolisian Republik Indonesia, www.polri.go.id, telah mengumumkan bahwa pembobol situs resmi mereka terancam delapan tahun penjara, sebagaimana Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Dengan ancaman hukuman delapan tahun penjara," ujar Kabag Penum Polri, Kombes Pol Boy Rafli Amar di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (17/5/2011).
Alamat situs resmi Polri, www.polri.go.id, dibajak oleh pihak tak bertanggung jawab sejak Senin (16/5/2011) kemarin. Saat pertama mengakses situs tersebut, ditemui kegagalan. Domain tersebut tidak bisa diakses sama sekali. Namun, setelah itu para pengakses situs diarahkan ke alamat http://www.polri.go.id/backend/index.html. Setelah itu, muncul muncul gambar dua orang sedang mengangkat bendera di atas sebuah bukit, disertai tulisan kalimat-kalimat Jihad.
Boy menjelaskan, perusakkan terhadap konten situs Polri adalah kejahatan dunia maya (cyber crime). Dan cyber crime termasuk kejahatan lintas-batas atau transnasional. Karenanya, ancaman hukuman bagi pelaku kejahatan transnasional ini terbilang berat.
Pasal 30 ayat 3 UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE, berbunyi "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan."
Dalam Pasal 46 ayat (3) UU ITE juga disebutkan, setiap orang yang melanggar Pasal 30 ayat (3) dipidana penjara paling lama delapan tahun dan/atau denda paling banyak Rp800 ribu.
Dia menambahkan, saat ini tim cyber crime Polri tengah menelusuri pengirim atau peretas situs mereka. Karenanya, sementara situs tidak bisa dinonaktifkan.


     6. Bareskrim Harus Usut Pembobol Komputer Perusahaan Bakrie

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri harus serius menyelidiki perkara pembajakan telepon dan akun email perusahaan Bakrie Group oleh para peretas yang diduga merupakan pihak asing.

"Pembajakan jaringan telepon dan email perusahaan tersebut merupakan preseden buruk bagi dunia usaha, apalagi menyangkut perusahaan besar nasional," ujar Anggota Komisi III DPR Bidang Hukum, Indra.

Indra menegaskan, saat ini telah banyak korban kejahatan internet dengan cara membobol atau mengakses informasi elektronik milik pihak lain untuk kepentingan tertentu. Ia mendorong Polri untuk bertindak lebih cekatan dibandingkan dengan para peretas (hacker).
"Ini bukan karena perusahaan Bakrie. Tapi cyber crime ini sangat berbahaya. Ketika jaringan internet milik perusahaan besar saja dibobol, itu kan berbahaya. Komisi III akan mempertanyakan soal ini dalam rapat kerja mendatang (dengan Polri)," kata Indra kepada wartawan di Jakarta, Rabu (7/11/2012).

Indra menambahkan, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memberikan payung bagi penegak hukum untuk mengambil tindakan tegas terhadap para peretas.

"Peralatan yang dimiliki Bareskrim sudah cukup. Untuk kejahatan internet yang dilakukan oleh para teroris saja Bareskrim mampu mengungkap, apalagi kejahatan cyber yang hanya membobol atau mengakses informasi perusahaan," kata politisi Partai Keadilan Sejahtera itu.Seperti yang diberitakan sebelumnya, karyawan bagian Finance PT. Bumi Resources Tbk Fuad Helmy membuat laporan di Bareskrim Polri pada 11 Oktober 2012 bernomor No. Pol: TBL/405/X/2012/Bareskrim.

Perkara yang dilaporkan adalah tindak pidana pencurian dan/atau perusakan dan/atau dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain dengan cara apapun dengan tujuan untuk memperoleh informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 362 KUHP dan/atau Pasal 406 KUHP dan/atau Pasal 30 Ayat (3) jo Pasal 46 Ayat (3) UU ITE. Waktu kejadian tertulis dalam Laporan Polisi itu pada Agustus 2012. Terlapor dituliskan masih dalam penyelidikan.

Pada Rabu, 10 Oktober 2012, Group Senior Vice President Bakrie Group, Christopher Fong, mengungkapkan mengenai dugaan terjadinya pembajakan akun email dan telepon perusahaan.

Fong mengatakan, pihaknya telah memiliki informasi mengenai pihak yang meretas akun email dan telepon perusahaan, yang disebutnya sebagai tindakan ilegal tersebut.

Sebagai catatan, perkara pembajakan itu mencuat seiring merenggangnya hubungan bisnis antara pihak Bakrie dan Nathaniel Rotschild, seorang financial engineer Yahudi asal Inggris, menyangkut kepemilikan saham Bumi Plc.


      7. Pembajak Situs Polri Manfaatkan Momen Penyergapan Teroris
 
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat terorisme, Wawan Purwanto, mengatakan bahwa peretas (hacker) yang mampu menjebol situs Polri dapat berasal dari mana saja.Namun kemungkinan, pelaku memanfaatkan momen saat Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri melakukan penyergapan terhadap terduga teroris Sigit Qurdowi.
"Menurut saya, orang yang mencari perhatian dan memancing di air keruh," kata Wawan ketika dihubungi Tribunnews.com, Kamis (19/5/2011).
                       
Wawan kemudian meminta kepolisian untuk secepatnya mengungkap kasus tersebut agar dapat diketahui motif pelaku melakukan hack terhadap situs Polri.
"Sebenarnya arah ajakan jihad itu bisa ditelusuri pengunggahnya," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan situs alamat resmi Polri dibajak di dunia maya. Berdasarkan penelusuran Tribunnews.com, saat pertama mengakses situs resmi Polri di alamat www.Polri.go.id menemui kegagalan.
Domain tersebut tidak bisa diakses sama sekali. Namun, setelah itu para pengguna internet diarahkan ke alamat http://www.polri.go.id/backend/index.html.
Alangkah terkejutnya ketika berhasil diakses muncul gambar dua orang sedang mengangkat bendera di atas sebuah bukit. Perusakkan terhadap konten situs Polri adalah kejahatan dunia maya (cyber crime).
Dan cyber crime termasuk kejahatan lintas-batas atau transnasional. Karenanya, ancaman hukuman bagi pelaku kejahatan transnasional ini terbilang berat.
Pasal 30 ayat 3 UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE, berbunyi "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan."
Dalam Pasal 46 ayat (3) UU ITE juga disebutkan, setiap orang yang melanggar Pasal 30 ayat (3) dipidana penjara paling lama delapan tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800 ribu.

       8. Pakar Hukum: Data Dicuri, Pengguna Bisa Tuntut Facebook

JAKARTA, KOMPAS.com - Sebanyak 50 juta data pengguna Facebook bocor ke tangan pihak yang tidak berhak. Dari puluhan juta itu, satu juta akun di antaranya dipastikan merupakan data pengguna di Indonesia. Apa yang bisa dilakukan oleh pengguna Facebook di Indonesia yang datanya dicuri?   Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengungkapkan, UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) memungkinkan hal itu terjadi. "Ya, FB sebagai korporasi bisa dituntut secara pidana meskipun hukumannya pun hanya denda," ujar Abdul Fickar kepada Kompas.com, Jakarta, Jumat (6/4/2018). Baca juga : 1 Juta Data Pengguna Indonesia Bocor, Ketua DPR Usul Bentuk Pansus Facebook
UU ITE menyatakan, setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melawan hukum mengakses komputer dan atau sistem elektronik dengan cara apapun, dengan tujuan memperoleh informasi elektronik dan dokumen elektronik, maka bisa dipidana. Ketentuan itu terdapat pada Pasal 30 ayat 1-3 dan Pasal 46 ayat 1-3 UU ITE. Pidananya, mulai dari hukuman 6-8 tahun penjara dengan denda Rp 600 juta hingga RP 800 juta. Sementara, pada Pasal 38 ayat 1-2 ditegaskan kembali bahwa setiap orang atau masyarakat dapat mengajukan gigitan kepada pihak yang menyelengarakan sistem elektronik dan atau menggunakan teknologi informasi yang menimbulkan kerugian masyarakat. Baca juga : Zuckerberg Tenangkan Investor, Saham Facebook Menguat Bahkan, kata Abdul Fickar, tidak hanya FB yang bisa digugat. Jika FB bisa membuktikan kebocoran dilakukan oleh pihak ketiga melalui aplikasi-aplikasi yang masuk ke FB, maka pihak ketiga juga dapat dijadikan subjek penuntutan. "Tetapi FB bisa dihukum karena ketidak hati-hatiannya," kata dia. Menurut dia, pencurian data pengguna FB merupakan penyalahgunaan data pribadi.
Pelanggaran hukumnya tidak lagi bersifat keperdataan karena sudah memasuki ranah yang bersifat kepentingsn umum, dan bisa dikualifikasi sebagai kejahatan. Baca juga : 9 April, Facebook Ungkap Siapa Saja Pengguna Indonesia yang Dicuri Datanya Rencananya, Facebook akan memberi tahu akun siapa saja yang datanya telah diambil Cambridge Analytica, termasuk pengguna asal Indonesia. Pemberitahuan itu akan ditampilkan lewat sebuah tautan yang ditempel di newsfeed paling atas di akun masing-masing pada Senin (9/4/2018) pekan depan.  Hal itu sesuai dengan apa yang ditulis dalam situs Newsroom Facebook yang di-posting pada Rabu (4/4/2018). Dalam sebuah pernyataan yang diunggah di akun Facebook resminya, pendiri dan CEO Facebook, Mark Zuckerberg meminta maaf pada pengguna dan menjanjikan sistem yang lebih aman untuk melindungi privasi data.


   9. Bobol Sistem Pengisian Pulsa Sebesar Rp 11 Juta, NR Diciduk Polisi




        JAKARTA, KOMPAS.com - NR, warga Tulungagung, Jawa Timur diringkus polisi lantaran meretas sistem POS pengisian pulsa milik perusahaan waralaba minimarket. Ia membobol pulsa di perusahaan tersebut selama enam jam hingga mencapai Rp 11,6 juta. Kasubdit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya AKBP Roberto Pasaribu mengatakan, penangkapan tersebut berdasarkan laporan dari kantor pusat PT Indomarco Prismatama ke Polda Metro Jaya pada 6 Mei 2016 lalu. Mereka melaporan terkait adanya pencurian pulsa pada sistem POS pengisian pulsa di 13 toko Indomaret di Jawa Timur dan Kalimantan. "Tersangka NR berhasil menyedot pulsa Indomaret selama enam jam mencapai Rp 11,6 juta," ujar Roberto ketika dikonfirmasi Kompas.com, Kamis (18/8/2016). Roberto menjelaskan, dalam menjalankan aksinya NR menggunakan alamat server pusat, kemudian masuk pada server cabang dan langsung menjalankan aplikasi POS pengisian pulsa. Kemudian sistem itu mengikuti perintah untuk melakukan pengisian pulsa ke nomor ponsel yang dituju. Setelah berhasil membobolnya, NR mengumpulkan pulsa-pulsa tersebut dan disimpan dalam 13 nomor provider berbeda. Kemudian, barulah tersangka memperjual belikan pulsa itu di forum jual beli online. "Dia menjual pulsa dengan harga lebih rendah daripada yang di pasaran. Misalnya pulsa Rp 100.000 dia jual seharga Rp 80.000," ucapnya. Akibat perbuatannya, pelaku terancam dijerat Pasal 30 ayat (1) Jo pasal 46 ayat (1) dan atau pasal 30 ayat (2) Jo pasal 46 ayat (2) dan atau pasal 30 ayat (3) Jo pasal 46 ayat (3) UU RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dan atau pasal 362 KUHP dengan ancaman hukuman penjara delapan tahun.

     10. Haikal Tersangka Hacker Ribuan Situs, Polisi: Dia Pemuda Tertutup  

TEMPO.CO, Jakarta – Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Hubungan Masyarakat Polri Komisaris Besar Martinus Sitompul mengatakan tersangka peretas situs penjualan tiket online, Sultan Haikal, merupakan pemuda yang tertutup. Dia jarang bergabung dengan orang lain.
”Waktu penangkapan, orang kaget, dia hanya lulusan SMP tapi bisa membobol ribuan situs,” ucap Martin di kantornya, Markas Besar Polri, Jakarta Selatan, Jumat, 7 April 2017.
Martin menerangkan, Polri berupaya merangkul hacker yang ada. Tapi, khusus untuk kasus ini, kata dia, karena Haikal telah melakukan pelanggaran hukum atau kejahatan, polisi mengedepankan hukuman untuk dia untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
”Baru setelah itu kami pihak kepolisian bisa melakukan komunikasi, katakanlah untuk merekrut sebagai ahli dalam membantu penegakan hukum,” ujarnya. “Tapi setelah dia menjalani hukuman.” Soal pembinaan terhadap Haikal, Polri menyerahkan kepada lembaga pemasyarakatan.
Menurut catatan kepolisian, Haikal bernama lengkap Sultan Haikal M. Aziansyah alias Emre alias Sultan Ekel. Dia ditangkap di Pesona Gintung Residen Blok F Nomor 29, Kelurahan Cempaka Putih, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Kamis, 30 Maret 2017. Dia diduga sebagai pembobol situs Tiket.com bersama tiga teman yang dikenalnya lewat Facebook.
Polisi menyita sejumlah barang bukti dari penangkapan Haikal dan tiga kawannya, seperti 4 ponsel merek iPhone, 3 ponsel Samsung, 3 kartu ATM, 2 kartu SIM, 2 laptop, buku tabungan Bank BCA dengan isi Rp 212 juta, dan router Wi-Fi. Ada juga kartu mahasiswa, sepeda motor, 1 unit rumah di Kalimantan Timur, dan uang Rp 212 juta dari tabungan itu.
”Tersangka Haikal masih dilakukan pendalaman karena membutuhkan keterangan dari pihak bank tentang mutasi rekeningnya sehingga masih kami tunggu hasil dari pihak bank,” ujar Martinus.
Haikal dan tiga tersangka lainnya diduga memenuhi unsur Pasal 46 ayat 1, 2, dan 3 juncto Pasal 30 ayat 1, 2, dan 3, dan/atau Pasal 51 ayat 1 dan 2 juncto Pasal 35 dan/atau Pasal 36 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 363 KUHP dan/atau Pasal 3, Pasal 5, serta Pasal 10 tentang Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.



 








 






 

 



 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Wisata Kayong Utara