Rabu, 25 April 2018

Contoh Video Pasal 31 ayat 1


Contoh Video Pasal 30 ayat 3


Contoh Kasus Pasal 31 ayat 1


    1. Pemain Sepak Bola Asal Kroasia Diciduk Polisi karena Bobol Rekening



JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan pemain sepak bola asal Kroasia, Vedran Muratovic (34), diringkus polisi lantaran membobol data nasabah bank dengan modus skimming. Dia diringkus bersama tiga WN Bulgaria berinsial LS (33), MVY (40) dan MIM (33). "Kami behasil ungkap pencurian uang dengan ATM palsu, artinya data diambil dari orang lain melalui alat pemindah data, sehingga ATM yang palsu ini dipakai untuk ambil uang," ujar Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Nico Afinta di Mapolda Metro Jaya, Senin (18/12/2017). Menurut Nico, kasus ini diungkap setelah pihaknya mendapat laporan dari nasabah yang merasa uang di rekeningnya berkurang secara tak wajar. Setelah melakukan penyelidikan, polisi akhirnya menangkap Vedran dan tiga rekannya di kawasan Jakarta Pusat. "Jadi data itu diambil dari luar (negeri), ada kelompok yang sediakan data dan eksekutor di sini (Indonesia), nah kami sedang dalami yang kelompok sediakan data dengan Interpol. Usai ambil data dari luar, mereka pindah ke kartu ATM kosong ini, ada alatnya dan komputernya, termasuk nomor pinnya," kata Nico. Baca juga : Pelat Mobil Dimodifikasi, Seorang Pemain Bola Klub Persija Ditilang Polisi Menurut Nico, komplotan ini sudah beraksi selama dua bulan. Mereka menggasak uang ratusan juta dari rekening para korbannya. Akibat ulahnya, mereka terancam dijerat Pasal 263 KUHP dan atau 363 KUHP dan atau Pasal 46 Jo Pasal 30 dan Pasal 47 Jo Pasal 31 Ayat (1) & (2) UU RI No 19 Tahun 2016 atas perubahan UU RI No 11 Tahun 2008 tentang ITE dan atau Pasal 3, 4, dan 5 UU RI No 8 Tahun 2010 tentang TPPU. Sementara itu, Kasubdit Resmob Ditreskrimum Polda Metro Jaya AKBP Aris Supriyono menambahkan, Vedran pernah bermain di klub sepak bola asal Indonesia. "Dia pernah main di Persiba tahun 2015," kata Aris. Berdasarkan data yang dilansir situs www.transfermarkt.com, Vedran juga diketahui pernah bermain di Persebaya pada tahun 2012 dan di Serawak FC pada tahun 2012 lalu.


   2. Dilema Penyadapan


Oleh Heru Sutadi Isu penyadapan menjadi salah satu klausul yang masuk dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Isu penyadapan menjadi menarik karena terkait anggapan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU HAP) akan melemahkan lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kewenangan penyadapan dianggap perlu melekat pada KPK mengingat manfaatnya dalam membongkar kasus-kasus korupsi di negeri ini. Aturan penyadapan berelasi dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Pasal 31 Ayat 4 dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang berisi ”tata cara penyadapan yang diatur oleh pemerintah”. MK mengabulkan permohonan Wahyu Wagiman yang meminta pasal ini dihapus menanggapi rencana pembuatan RPP Penyadapan. MK berpendapat, pembatasan mengenai penyadapan harus diatur dengan UU untuk menghindari penyalahgunaan wewenang yang melanggar hak asasi manusia (HAM).
MK memandang perlu mengingatkan penyadapan dan perekaman pembicaraan merupakan pembatasan HAM. Pembatasan hanya dapat dilakukan dengan payung UU sebagaimana diatur Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945. Diskursus di MK Sebelum ramai dibahas dalam RUU HAP, diskursus penyadapan sebenarnya sudah berlangsung dalam pemutaran dan penyiaran rekaman pembicaraan telepon. Ini terutama setelah sidang di MK terkait uji materi (judicial review) Pasal 32 Ayat (1) huruf c UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang diajukan unsur pimpinan KPK non-aktif saat itu, Chandra M Hamzah dan Bibit S Rianto. Ada yang mendukung, ada yang menolak. Yang mendukung melihat bahwa penyadapan sah dilakukan. Misalnya, bagi KPK, penyadapan menjadi alat ampuh menjerat para pelaku korupsi. Terbukti tim penyidik KPK beberapa kali berhasil membongkar ulah koruptor yang bahkan melibatkan penegak hukum. Seperti kasus jaksa Urip Tri Gunawan, di persidangan terungkap, melalui penyadapan telepon ada hubungan antara Artalyta Suryani dan Urip, dan bahkan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Untung Uji Santoso.
Dalam kasus Bibit-Chandra, tersebutlah tokoh Anggodo dan kawan-kawan. Yang menolak penyadapan berargumen bahwa pembicaraan telepon, termasuk akses internet, merupakan wilayah pribadi dan dilindungi UU. Penyadapan serampangan membuat hal-hal pribadi terpublikasi. Jaminan privasi UU Telekomunikasi Nomor 36 Tahun 1999 menjamin privasi pengguna layanan telekomunikasi. Pasal 40 menyatakan, ”Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apa pun”. Menurut Pasal 41, operator telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima konsumen jasa telekomunikasi. UU Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008 pada Pasal 31 Ayat (1) dan (2) juga melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan atau dokumen elektronik. Namun, tetap ada perkecualian. Penyadapan (merekam informasi) dapat dilakukan untuk keperluan proses peradilan pidana atas permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu, serta permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai UU yang berlaku (Pasal 42 Ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 1999 dan Pasal 31 Ayat (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik No 11 Tahun 2008). Selain Kejaksaan dan Polri, berdasar UU 30 Tahun 2002 Pasal 12 Ayat (1) huruf a, KPK dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan juga dapat menyadap dan merekam pembicaraan. Tidak mudah Kenyataannya, penyadapan tidak selalu sesuai dengan UU, tugas, dan wewenang yang dimiliki. Permintaan tertulis tidak selalu ditandatangani Jaksa Agung atau Kapolri. Dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, ditengarai telepon seluler Rani Juliani dan Nasrudin Zulkarnaen disadap meski tidak langsung terkait tindak pidana korupsi. Ada juga wartawan yang disadap, padahal ia melakukan tugas jurnalistik. Bahkan, ada seorang ibu yang sedang dalam proses perceraian disadap untuk kepentingan (bakal mantan) suami di pengadilan agama. Dari pro dan kontra yang mengemuka, yang perlu dikedepankan adalah hak masyarakat, konsumen telekomunikasi, dan internet khususnya untuk tidak disadap. Dalam RUU HAP Pasal 83, tegas dinyatakan bahwa penyadapan pembicaraan melalui telepon atau alat telekomunikasi yang lain dilarang, kecuali terhadap pembicaraan terkait dengan tindak pidana serius atau diduga keras akan terjadi tindak pidana serius yang tidak dapat diungkap tanpa penyadapan.
Penyadapan hanya dapat dilakukan penyidik atas perintah tertulis atasan penyidik setempat setelah mendapat surat izin dari hakim komisaris. Aturan ini memberikan perlindungan privasi bagi masyarakat. Sayangnya, aturan jenis tindak pidana serius yang dimasukkan terlalu banyak. Harusnya, dibatasi pada hal terkait keamanan negara, terorisme, korupsi, narkoba, pengancaman atau pemerasan, serta perampasan kemerdekaan/penculikan saja. Selain itu, ketentuan Pasal 84 dalam RUU HAP menyebutkan, dalam keadaan mendesak penyidik dapat melakukan penyadapan tanpa surat izin dari hakim komisaris dengan ketentuan wajib memberitahukan penyadapan tersebut kepada hakim komisaris melalui penuntut umum. Hal itu dapat menjadi pembenar penyadapan tanpa izin. Terkait isi RUU HAP, yang diperlukan adalah prosedur operasi standar dalam hal penyadapan. Misalnya, siapa yang berwenang menandatangani permintaan tertulis penyadapan, kapan boleh dilakukan, dan sampai berapa lama. Sebab, mungkin saja, walau belum ada indikasi tindak pidana atau korupsi, sudah disadap. Bahkan, yang tidak masuk dalam tindak pidana atau korupsi juga disadap. Yang juga perlu diatur adalah audit penyadapan yang telah dilakukan penegak hukum. Ini untuk menilai apakah mekanisme penyadapan sesuai dengan prosedur operasi standar atau tidak. Sadap-menyadap yang tidak dapat dipertanggungjawabkan membuat masyarakat tidak percaya terhadap aparat penegak hukum dan pemerintah. Terkait pembukaan dan penyebaran rekaman penyadapan, perlu dilihat kembali Pasal 17 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Ada beberapa informasi yang dikecualikan dari akses publik untuk mendapatkan informasi. Informasi yang dikecualikan itu antara lain apabila dibuka dan diberikan dapat menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana ataupun mengungkapkan identitas informan, pelapor, saksi, dan atau korban tindak pidana. Selain itu, dikecualikan juga informasi publik yang apabila dibuka dapat mengungkap rahasia pribadi. Membuka penyadapan ke publik hendaknya disampaikan secara lengkap, sejak awal pembicaraan hingga selesai. Pembicaraan yang dipotong-potong berpotensi membuat teks keluar dari konteks. Heru Sutadi Pengamat Sosial Politik; Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute

3.  Bagaimana Hukum Penyadapan CCTV Berdasarkan Revisi UU ITE 2016


Memahami pesatnya perkembangan teknologi informasi dan pemanfaatannya, Pemerintah Indonesia baru saja melakukan revisi pada UU ITE.  Revisi tersebut termaktub dalam perubahan Undang-undang No. 19 tahun 2016 mengenai perubahan Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Tujuannya, agar ruang lingkup UU ITE lebih luas dalam mengatur dan menertibkan teknologi informasi dan pemanfaatannya. Salah satu yang menarik untuk diperhatikan adalah dari revisi UU ITE ini adalah ketentuan dalam pemanfaatan CCTV. Berawal dari permasalahan kata intersepsi atau penyadapan yang terlalu luas, mengambil gambar melalui CCTV dapat dikategorikan sebagai intersepsi. Berikut penjelasan kata intersepsi di pasal 31 ayat 1 UUITE: “Intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.” Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa mengambil gambar melalui CCTV dapat dikategorikan sebagai melakukan intersepsi atau penyadapan karena pengambilan gambar merupakan perekaman yang bersifat pribadi. Namun dalam hal ini memang belum jelas apakah hal tersebut termasuk bersifat publik atau tidak.   Makna intersepsi ini berpengaruh pada Pasal 5 ayat 2 UUITE yang mengatakan bahwa:  “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai hukum acara yang berlaku di Indonesia.” Serta, penjelasanya sebagai berikut:  “Khusus untuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik berupa hasil intersepsi atau penyadapan atau perekaman yang merupakan bagian dari penyadapan harus dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang.” Dari penjelasan di atas, kekuatan pembuktian CCTV di pengadilan juga dapat dikatakan meragukan.  Sebab, untuk menjadi alat bukti pengambilan gambar melalui CCTV yang dapat dianggap intersepsi tadi harus dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan otoritas yang berwenang. Belum lagi, UU ITE juga melarang intersepsi tanpa hak atau melawan hukum, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 31 UU ITE, bahwa: “(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain. (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku terhadap intersepsi atau penyadapan yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan undang-undang.” Hukuman untuk pelanggaran Pasal 31 ayat 1 dan/atau 2 tersebut adalah sebagai berikut: “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).” Menyiasati Alat Bukti CCTV Hal ini dapat membuat pemilik CCTV dijerat pidana. Lalu, bagaimana menyiasatinya agar perekaman gambar melalui CCTV ini tidak melanggar peraturan? Salah satu cara yang dapat menjadi solusi sebagainya adalah dengan cara mencantumkan tulisan yang menyebutkan bahwa wilayah yang dimaksud telah dilengkapi dengan CCTV. Dengan demikian, pengunjung atau tamu yang masuk ke wilayah tersebut dianggap menyetujui untuk direkam dengan CCTV. Tindakan ini juga disertai dengan hasil rekaman CCTV yang dapat dilihat secara publik agar dapat menjadikannya sebagai alat bukti. Pepatah mengatakan apabila ada 1000 ahli hukum, maka akan ada 1000 pendapat hukum yang berbeda. Demikian juga dengan hal di atas. Tentu saja ahli hukum lain mungkin berpendapat berbeda dengan tulisan ini. Bagaimana menurut pendapat Anda? *Mika Isac Kriyasa, SH adalah Penasihat hukum dan Senior Associate di kantor hukum Hanafiah Ponggawa & Partners (HPRP Lawyers)

4.
13 Bank di Indonesia Jadi Sasaran Pembobolan

          Lebih lanjut, 16 negara lainnya yakni Kanada, Perancis, Swis, Singapura, Denmark, Jepang, India, Islandia, Saudi Arabia, Hong Kong, Afrika Selatan, Sealandia Baru, Nurwegia, Cili, Belgia dan Italia.
"Dari 64 bank yang dibobol, total ada 1.480 kartu yang digunakan untuk mengambil uang para nasabah," ujarnya.
Dengan adanya kejahatan tersebut di 22 negara, Nico meminta masyarakat waspada saat bertransaksi menggunakan mesin ATM. Dia juga menghimbau untuk tidak segan melaporkan orang yang diduga mencurigakan berada di dalam ruang ATM dalam waktu yang cukup lama.
"Lalu yang berikutnya bila menemukan ada beberapa alat-alat yang di luar kebiasaan bisa melaporkan kepada polisi merasa terganggu tidak," pintanya.
Kelima tersangka itu ditangkap di De Park, Cluster Kayu Putih Blok AB 6 Nomor 3, Serpong, Tangerang, Banten, di Bohemia Vilage 1 Nomor 57, Serpong, Tangerang, di Hotel Grand Serpong Tangerang, dan di Hotel De Max Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.
Para tersangka dikenakan Pasal 363 KUHP dan atau Pasal 46 Jo Pasal 30 dan Pasal 47 Jo Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-undang RI No. 19 tahun 2016 atas perubahan undang-undang RI No. 11 tahun 2008 tentang ITE dan atau Pasal 3, 4 dan 5 Undang-undang RI No. 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.(X-10)

5. Sindikat Internasional Skimming ATM 64 Bank Kelabui Petugas Pakai Bitcoin

JAKARTA - Direktur Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya, Kombes Nico Afinta mengatakan, 4 WNA pembobol ATM 64 bank yang gunakan metode skimming ternyata diketahui mengkonversi uang hasil kejahatan ke dalam bentuk uang virtual atau sistem pembayaran elektronik Bitcoin.
Cara itu digunakan untuk menghindari sistem pelacakan yang dimiliki perbankan maupun kepolisian. Karena strategi itulah polisi masih belum dapat melacak secara keseluruhan hasil kejahatan yang mereka peroleh sejak awal beraksi di Indonesia pada Oktober 2017 silam.
"Ketika mengambil uang, mereka jarang diambil cash, semuanya hampir polanya ditransfer kemudian setelah ditransfer ada sebagian yang dipindahkan ke Bitcoin untuk mempersulit penyelidikan yang dilakukan oleh Polri," kata Nico di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Sabtu (17/3/2018).
Berdasarkan hasil penelusuran polisi, pelaku telah berhasil membobol kurang lebih 64 bank di seluruh dunia. Adapun pelaku berinisial FH (26) asal Hungaria, sedangkan IRT (27), LN (27) dan ASC (34) warga negara Romania. Saat beraksi di Indonesia, mereka dibantu oleh MK (29), seorang WNI.
Metode yang digunakan para pelaku yakni memasang alat skimmingpada mesin ATM pada lubang kartu untuk menggandakan data korban dan memasang spycamp atau kamera sembunyi tepat di atas tombol angka untuk mendapatkan PIN calon korban.
Dikatakan Nico, pihaknya tengah menjalin kerjasama dengan instansi terkait seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengetahui alur dana dan jumlah uang yang dikumpulkan sindikat para pelaku tersebut. "Masalah Bitcoin tentunya kami masih bekerjasama dengan OJK, perbankan dengan Bank Indonesia untuk mendalami itu," jelasnya.
Masing-masing tersangka dikenakan Pasal 363 KUHP dan atau Pasal 46juncto Pasal 30 dan Pasal 47 juncto Pasal 31 ayat (1) dan (2) Nomor 19 tahun 2016 atas perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dan atau Pasal 3, 4, dan 5 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.


6.  Polisi Ringkus Mantan Pesepak Bola Persebaya Asal Kroasia

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polda Metro Jaya meringkus mantan pemain sepak bola asal Kroasia, Vedran Muratovic (34).
Vedran pernah diikat kontrak oleh Persebaya pada 2012 dan di Serawak FC pada tahun 2012 lalu. Subdit Resmob Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya meringkus Vedran karena membobol data nasabah bank dengan modus skimming.
Vedran diringkus bersama tiga WN Bulgaria berinsial LS (33), MVY (40) dan MIM (33).
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Nico Afinta menerangkan, komplotan ini, kerap menggunakan data orang lain melalui alat pemindah data.
"Sehingga ATM yang palsu ini dipakai untuk ambil uang," ujar Nico di Mapolda Metro Jaya, Semanggi, Jakarta Selatan, Senin (18/12/2017). Kasus terungkap, setelah pihak Polda Metro Jaha mendapat laporan dari nasabah yang merasa uang berkurang tak wajar. Data diambil dari luar negeri. Kemudian, komplotan ini, mengeksekusinya di Indonesia.
Komplotan ini sudah beraksi selama dua bulan. Mereka menggasak uang ratusan juta dari rekening para korbannya.
"Usai ambil data dari luar, mereka pindah ke kartu ATM kosong ini, ada alatnya dan komputernya, termasuk nomor pinnya," ujar Nico.
Atas perbuatannya, mereka terancam dijerat Pasal 263 KUHP dan atau 363 KUHP dan atau Pasal 46 Jo Pasal 30 dan Pasal 47 Jo Pasal 31 Ayat (1) & (2) UU RI No 19 Tahun 2016 atas perubahan UU RI No 11 Tahun 2008 tentang ITE dan atau Pasal 3, 4, dan 5 UU RI No 8 Tahun 2010 tentang TPPU.

7. WNA Pembobol ATM ditangkap Polda Metro eks pesepakbola asal Kroasia

Merdeka.comVedran Muratovic, mantan pesepakbola asal Kroasia ini harus mendekam di balik jeruji besi. Pria berusia 34 tahun membobol data nasabah bank dengan modus skimming yaitu menyalin informasi yang terdapat pada strip magnetik kartu kredit atau debit secara ilegal.
Selain Vedran, polisi juga amankan tiga warga negara asing yakni Lazar Stoyanov (33), Momchil Vasilyev Yordanov (40), dan Mihai Julian Motocu (33).
"Pencurian uang dengan ATM palsu ini artinya data diambil dari orang lain melalui alat pemindah data, sehingga ATM yang palsu ini dipakai untuk ambil uang," ujar Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Nico Afinta di Mapolda Metro Jaya, Senin (18/12).
Nico mengatakan, kasus ini diungkap setelah polisi mendapat laporan dari nasabah yang merasa uang di rekeningnya berkurang secara tak wajar. Setelah melakukan penyelidikan, polisi akhirnya menangkap Vedran dan tiga rekannya di kawasan Jakarta Pusat.
"Jadi ada delapan laporan yang masuk ke kami. Awalnya data itu diambil dari luar (negeri), ada kelompok yang sediakan data dan eksekutor di sini (Indonesia), nah kami sedang dalami yang kelompok sediakan data dengan Interpol. Usai ambil data dari luar, mereka pindah ke kartu ATM kosong ini, ada alatnya dan komputernya, termasuk nomor pinnya," kata Nico.
Sementara itu, Kasubdit Resmob Ditreskrimum Polda Metro Jaya AKBP Aris Supriyono menambahkan, Vedran pernah bermain di klub sepak bola asal Indonesia. Hal itu berdasarkan data yang dilansir situs www.transfermarkt.com Vedran juga diketahui pernah bermain di Persebaya pada tahun 2012 dan di Serawak FC pada tahun 2012 lalu.
"Dia pernah main di Persiba tahun 2015," kata Aris.
Akibat ulahnya, para pelaku terancam dijerat Pasal 263 KUHP dan atau 363 KUHP dan atau Pasal 46 Jo pasal 30 dan pasal 47 Jo pasal 31 ayat (1) & (2) UU RI No. 19 thn 2016 atas perubahan UU RI No. 11 thn 2008 tentang ITE dan atau psl 3, 4 dan 5 UU RI No. 8 tahun 2010 tentang TPPU. 


8. Sindikat pembobol data ATM punya 3 kelompok, ini peran masing-masing

Merdeka.com - Aparat Polda Metro Jaya, menangkap lima orang tersangka dalam tindak pidana pencurian data elektronik (skimming) dan tindak pidana pencucian uang. Dari lima orang tersebut, satu orang merupakan WNI atas nama MK (29), satu tersangka asal Hungaria, FH (26) dan tiga lainnya asal Rumania, I alias RL (27), LN alias M (27) dan ASC (34).
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dir Reskrimum) Polda Metro Jaya, Kombes Pol Nico Afinta mengatakan, mereka terbagi dalam tiga kelompok berbeda dalam melaksanakan pengambilan uang ini dengan metodologi skimming.
"Yang pertama adalah kelompok penyedia alat di mana mereka sudah menyediakan alat-alat mulai dari softwarenya, hardware serta kamera kemudian melalui alat skiming dimasukan. Alat ini berasal dari luar negeri," kata Nico di Polda Metro Jaya,Jakarta Selatan, Sabtu (17/3).
Lalu yang kedua adalah kelompok operasional yang memasang kemudian melihat beberapa titik-titik ATM yang kira-kira bisa dipasangi dengan aman dan mereka juga melihat situasi jam dengan menentukan sasaran yang akhirnya alat-alat kejahatannya dipasang.
"Kemudian yang ketiga adalah kelompok yang mengambil uang kemudian mentransfer uang. Setelah mendapatkan data yang terambil dari ATM tertentu yang sudah dipasang alat kemudian mereka memindahkan ke kartu-kartu ini," jelasnya.
Jadi, mereka memasang alat untuk mengetahui PIN nasabah di mesin ATM sehingga apabila seseorang memasukkan nomor PINnya dan begitu kartu dimasukkan data itu terekam.
"Maka kalau kita memasukkan PIN kadang-kadang kan kita menutupi gunanya seperti itu," ujarnya.
Perwira menengah ini menerangkan, beberapa alat untuk mencuri data atau PIN nasabah itu sampai diberi baterai tambahan. Hal itu untuk mempertahankan lamanya alat itu bekerja. "Alat itu kan untuk melihat seseorang memasukkan PIN kemudian terekam. Lalu kemudian juga ada laptop. Ini digunakan untuk memindahkan data. Jadi setelah seseorang memasukkan kartu kemudian dicabut kemudian bisa dilihat, ini juga ada beberapa hardisk," terangnya.
"Data-data yang sudah masuk digunakan ke dalam harddisk dimasukkan ke dalam komputer untuk dipindahkan ini juga ada beberapa alat lain ini dimasukkan kedalaman negeri kemudian digunakan untuk kejahatannya," sambungnya.
Kelima tersangka itu ditangkap di De Park Cluster Kayu Putih Blok AB 6 Nomor 3, Serpong, Tangerang, Banten, di Bohemia Vilage 1 Nomor 57, Serpong, Tangerang, di Hotel Grand Serpong Tangerang, dan di Hotel De Max Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.
Para tersangka dikenakan Pasal 363 KUHP dan atau Pasal 46 Jo Pasal 30 dan Pasal 47 Jo Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-undang RI No. 19 tahun 2016 atas perubahan undang-undang RI No. 11 tahun 2008 tentang ITE dan atau Pasal 3, 4 dan 5 Undang-undang RI No. 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

9. MK Kabulkan Sebagian Uji Materi UU ITE oleh Setya Novanto

Metrotvnews.com, Jakarta: Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian uji materi UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang diajukan oleh Setya Novanto. Dengan putusan ini, maka tiap penyadapan hanya boleh dilakukan untuk keperluan hukum dan seizin penegak hukum sesuai aturan yang berlaku. Novanto mengajukan uji materi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang teregistrasi dengan nomor perkara 20/PUU-XIV/2016.
             Novanto merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE yang mengatur bahwa informasi atau dokumen elektronik merupakan salah satu alat bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan yang sah. Novanto juga merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 26A UU KPK yang menyatakan alat bukti yang sah berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, dan disimpan secara elektronik dengan alat serta dokumen yang setiap rekaman data atau infomrasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik.
           Majelis Hakim mengabulkan sebagian permohonan Novanto. "Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Arief Hidayat dalam sidang di Mahkamah Konsitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (7/9/2016). Arief mengatakan, frasa 'informasi elektronik dan atau dokumen elektronik' dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 huruf b Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bertentangan dengan UUD tahun 1945, sepanjang tak dimaknai sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian atau penegak hukum lain berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) dan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
              Dalam putusan ini terdapat dua hakim yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna berpendapat pemohon tak mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan ini. Kata dia, pemohon merupakan perorangan yang memiliki status sebagai anggota DPR. Padahal, Mahkamah telah berkali-kali menyatakan pendirian seseorang dengan status anggota DPR tak memiliki kedudukan hukum sebagai pemohon pengujian UU terhadap UUD 1945.
            "Sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan hukum putusan-putusan Mahkamah sebelumnya," kata Gede Palguna. Mahkamah, kata dia, hanya menerima kedudukan hukum anggota DPR dalam pengujian UUD 1945 dalam hal yang sangat khusus. Sedangkan, materi norma UU yang dimohonkan penguji tak masuk dalam salah satu dari materi norma UU yang sangat khusus ini. "Saya berpendapat bahwa Mahkamah seharusnya memutus dan menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima," kata dia.
Tindakan Penyadapan Melawan Hukum
           Hakim Konstitusi Suhartoyo memiliki pendapat yang berbeda. Suhartoyo menilai tindakan penyadapan atau perekaman adalah tindakan melawan hukum karena melanggar privasi orang lain. "Sehingga melanggar hak asasi manusia," kata Suhartoyo. Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 menyatakan, untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Dari ketentuan Pasal UUD 1945 a quo, kata Suhartoyo, penyadapan hanya boleh dilakukan berdasarkan undang-undang.
          Dalam konteks penegakkan hukum, kata dia, penyadapan seharusnya sangat dibatasi untuk menghindari potensi penggunaan penyadapan secara sewenang-wenang. Mahkamah Konstitusi pun pernah mengeluarkan putusan Nomor 5/PPU-VIII/2010 yang menyatakan penyadapan sebagai bentuk pelanggaran hak privasi seseorang.
          "UU ITE sebenarnya sudah mengatur secara rinci bahwa setiap orang dilarang melakukan intersepsi atau penyadapan yang ditentukan dalam BAB VII perbuatan yang dilarang, khususnya Pasal 31 ayat (1). Dari ketentuan Pasal 31 ayat (1) tersebut maka setiap orang dilarang melakukan perekaman terhadap orang lain, dan terhadap pelaku perekaman dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dikenakan sanksi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 46 ayat (1)," kata Suhartoyo.


1.            10. Ini Modus Tersangka WNA Bulgaria Jalankan Aksi Skimming Nasabah 

TEMPO.CO, Jakarta -Seorang Warga Negara Asing atau WNA berinisial KVB, 41 tahun, menjadi tersangka baru dalam kasus pembobolan data rekening nasabah alias skimming 13 bank di Indonesia.
KVB yang asal Bulgaria itu ditangkap oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya saat sedang beraksi di ATM Bank Mandiri, Jl. Juanda, Jakarta Pusat atas bantuan seorang satpam yang tengah berjaga.
"Kami berhasil menangkap WNA Bulgaria, dimana tersangka ditangkap oleh satpam yang berjaga di ATM tersebut," kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Nico Afinta di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Senin, 19 Maret 2018, saat merilis tersangka baru skimming tersebut.
KVB datang ke Indonesia pada September 2017 atas perintah tersangka PETCHO yang kini masuk dalam Daftar Percarian Orang (DPO) yang tinggal di Bulgaria. Setelah KVB sampai di Indonesia, PETCHO mengirimkan data-data nasabah bank yang sudah ia curi terlebih dahulu.
Data-data tersebut dipindahkan KVB ke kartu kosong yang sudah disediakan dengan menggunakan Deep Skimmer. Setelah data nasabah terekam, KVB langsung melakukan transaksi seperti biasa di beberapa ATM Bank Mandiri di Jakarta.
"Tersangka diberikan imbalan sebesar 20 persen dari nilai uang yang berhasil ditransaksikan," ujar Nico.
KVB berhasil meraup uang sampai Rp 77 juta selama ia beraksi. KVB akan dikenakan Pasal 263 KUHP, Pasal 363 KUHP, dan atau pasal 47 Jo pasal 30 dan pasal 47 Jo pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 atas perubahan undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dan atau pasal 3,4 dan 5 Undang-undang Nomor. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sebelumnya, polisi sudah terlebih dulu menangkap 3 orang berkewarganegaraan Rumania, 1 berkewarganegaraan Hungaria, dan 1 warga Indonesia dalam kasus skimming ini.
Para tersangka telah melakukan aksi kejahatan skimming ini selama empat bulan terakhir, dari Oktober 2017 hingga Februari 2018. Praktik skimming oleh pelaku pun, kata Nico, tidak hanya dilakukan di Indonesia, namun di 20 negara lain seperti Australia, Jerman, Amerika Serikat, hingga Afrika Selatan. "Mereka berpindah-pindah, jadi tidak bertahan lama di satu lokasi," ujar Nico.

 









Contoh Kasus Pasal 30 Ayat 3


  1. Pembobol Situs DKPP Ingin Tunjukkan Eksistensi


JAKARTA, KOMPAS.com — Penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri telah menangkap pelaku pembobol situs Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Pelaku yang diketahui bernama Harison alias Chmod755 alias Setan Dari Surga asal Sumatera Utara. Kepada penyidik, Harison mengaku ingin membuktikan eksistensinya di dunia maya dengan membobol laman lembaga pemilu tersebut. “Tersangka ditangkap motivasinya hanya ingin menunjukkan eksistensinya di dunia maya. Ini loh aku sudah bisa hack, terobos,” kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen (Pol) Arief Sulistyanto di Mabes Polri, Rabu (8/1/2014). Arief menerangkan, pelaku beraksi dengan cara mengubah (defacing) tampilan situs DKPP.
Seperti diketahui, situs DKPP biasanya menampilkan tayangan kegiatan sidang sengketa pemilu. Namun, setelah diretas, situs tersebut berubah menjadi gelap dan hanya ada tulisan "MBT" berwarna merah yang menunjukkan kode alias pelaku. Meski terkesan tak terlalu berbahaya, Arief menambahkan, tindakan defacing yang dilakukan pelaku tetap dianggap sebagai sebuah tindakan pidana. Pasalnya, pelaku secara ilegal telah mengubah tampilan laman milik pihak lain. “Jangan dilihat sepelenya. Perbuatannya tetap masuk ke dalam sistem elektronik IT yang sudah dirancang orang lain itu ibaratnya masuk rumah tanpa izin,” katanya.

    2. "Hacker" Pemasok Dana Terorisme Terkena Pasal Berlapis

JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Penuntut Umum, Yulianis dan Rani Hartati, menuntut tersangka pelaku kegiatan terorisme di Poso, Cahya Fitrianta (26) dengan pasal berlapis. Ia didakwa atas tindakan permufakatan jahat dan menukarkan harta kekayaan yang menjadi bagian dari tindak pidana terorisme. Karena tindakan itulah, Cahya dijerat pasal berlapis yaitu Pasal 15 UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Teroris, Pasal 3 UU No.8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan Pasal 30 ayat (3) UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE).
"Hacking ini dilakukan untuk mengumpulkan dana. Sebagian dana untuk ummahat ihwan sebesar Rp 220 juta, sedangkan untuk pemboman gereja di Solo juga didanai Rp 200 juta," kata Yulianis, Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Senin (8/10/2012). Yulianis menambahkan, hasil dana yang didapatkan dari kegiatan hacking terhadap situs bisnis investasi tersebut ia gunakan untuk mendanai pembelian senjata api, bahan peledak, dan dana oprasional latihan militer di Poso. Dana tersebut ia dapatkan dari membajak situs www.speedline.com kemudian hasil bajak tersebut ia jual dengan kurs Euro. Yulianis mengatakan, uang yang didapat dari hasil bajak situs investasi tersebut sebanyak Rp 460,3 juta. Kemudian dibagi ke dalam tiga rekening, dua rekening milik istrinya, dan satu rekening miliknya pribadi. Kemudian, istri pelaku, Nurul Azmi, menyimpan uang di dalam rekening BCA dan Mandiri, sedangkan di rekening milik pribadi Cahya ia simpan di rekening BCA atas nama Najmudin. Ia juga lakukan transfer ulang uang di sejumlah ATM untuk menghilangkan jejak investasi online tersebut. "Uang yang ada dalam tiga rekening itu ditariknya, lalu ditransfer lagi ke rekening terdakwa dengan nama yang berbeda," kata JPU lainnya Rini Hartati. Saat persidangan berlangsung, terdakwa tidak ditemani kuasa hukumnya karena ia ingin mengganti kuasa yang mengurus dakwanya sejak pembuatan Berkas Acara Pemeriksaan (BAP). Ia hanya mendengarkan dakwaan yang dibacakan JPU. Cahya ditangkap Densus 88 di sebuah penginapan daerah Bandung. Ia mendekam di penajra sejak 22 Maret 2012. Sidang akan dilanjutkan Selasa (16/10/2012) dengan agenda pengajuan eksepsi.

      3. Go-Jek Inisiasi Gerakan #HapusTuyul

          KOMPAS.com — Istilah "tuyul" pada layanan ojek online merupakan kecurangan karena pengemudi menggunakan aplikasi " fake GPS" untuk mendapat penumpang meski berada jauh dari lokasi. Penggunaan "tuyul" bisa merugikan konsumen karena mengacaukan estimasi waktu kedatangan driver. Selain itu, aplikasi GPS palsu ini juga digunakan untuk membuat order fiktif. Dengan order fiktif ini, pengemudi bisa meraup keuntungan bahkan tanpa harus beranjak dari tempatnya. Aplikasi ini disebut "tuyul" karena pengemudi seolah-olah mendapat penumpang, lalu mengantarnya sampai ke tempat tujuan. Padahal, pengemudi ojek online tersebut hanya diam di tempat. Melihat masalah ini, Go-Jek menginisiasi gerakan #HapusTuyul. Vice President Corporate Communication Go-Jek Michael Say mengatakan, Go-Jek tengah mengembangkan sistem yang dapat mendeteksi apakah si pengemudi menggunakan GPS palsu atau tidak. "Sekarang kami hapus para tuyul supaya teman-teman bisa fair play," ujar Michael dalam pertemuan dengan mitra pengemudi, seperti dirangkum KompasTekno dari rekaman video yang diunggah di akun resmi Twitter Go-Jek, Kamis (22/3/2018). Penggunaan aplikasi "tuyul" memang merupakan tindak kecurangan yang merugikan dua belah pihak baik driver maupun konsumen. Beberapa oknum mitra (driver) yang menggunakan aplikasi tuyul ini mendapat keuntungan dengan cara tidak adil. Padahal, penggunaan aplikasi GPS palsu justru akan membahayakan data dari akun mitra tersebut. "Pesannya satu, tolong jangan menormalisasi hal-hal ini (tuyul), apalagi kita bicara perlindungan data. Ini (GPS palsu) adalah aplikasi pihak ketiga," lanjutnya. Baca juga: Begini Cara Go-Jek agar Mitra Tidak Pakai Tuyul Maraknya aksi tuyul sudah terjadi sejak beberapa waktu lalu. Bahkan, pada Februari lalu, Polda Metro Jaya menangkap 12 orang tersangka yang membuat order fiktif dengan menggunakan aplikasi tuyul ini. Dengan menggunakan aplikasi tuyul, para sopir taksi maupun ojek online ini tak perlu repot-repot melayani pelanggan. Mereka tinggal membuat order fiktif, lalu order tersebut diterima dirinya sendiri dengan akun lain dan secara otomatis kendaraan yang terlihat pada GPS di aplikasi bergerak seolah-olah tengah melayani penumpang. Pelaku order fiktif ini terancam hukuman pidana yang dapat dikenai Pasal 30 Ayat (3) juncto Pasal 46, dan atau Pasal 32 Ayat (1) juncto Pasal 48, dan atau Pasal 35 juncto Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dengan ancaman pidana 8-12 tahun penjara dan atau Pasal 378 KUHP dengan pidana paling lama 4 tahun penjara.

   4. Curi Pulsa, 7 Peretas Server Telkomsel Ditangkap 


JAKARTA, KOMPAS.com - Aparat Badan Reserse Kriminal Mabes Polri menangkap tujuh pelaku pencuri pulsa dengan cara meretas server milik PT Telkomsel. Aksi pencurian pulsa yang diduga dilakukan sejak 2010 itu ditaksir telah merugikan perusahaan operator seluler tersebut hingga puluhan miliar rupiah. "Aksi ini diketahui pada saat diaudit keuangan provider tersebut. Ternyata, jumlah pulsa yang dijual dengan keuangan yang diterima jauh berbeda. Pihak Telkomsel mengaku rugi Rp10 miliar, dari pihak pelaku Rp 4 miliar. Tapi jumlah ini belum kita pastikan karena masih diaudit," ujar Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution, Senin (9/1/2012) di Jakarta. Saud mengatakan, penangkapan itu berlangsung pada Jumat (6/1/2012). Tujuh penyusup yang ditangkap berinisial FA, AH, MA, SP, DY, IA, dan LK. Saat menjalankan aksinya, FA dibantu AH untuk membobol server Telkomsel. Kedua pelaku itu dibantu oleh MA dalam menyiapkan script untuk memfasilitasi pencurian pulsa tersebut. "Kemudian ada tersangka SP yang ikut membantu membobol server, menyiapkan script, dan melaksanakan pencurian pulsa serta menjual ke masyarakat. Kemudian DY membantu melakukan penjebolan server, mencuri, dan ikut juga penjual pulsa bersama IA dan LK. Jadi mereka ini pemain sekaligus penjual dengan rekan-rekanya," papar Saud.
Ketujuh pelaku itu awalnya tidak langsung menjual pulsa curian kepada masyarakat. Mereka terlebih dahulu menggunakan pulsa itu untuk kepentingan pribadi. Setelah mencoba berkali-kali dan berhasil, para pelaku memberanikan diri memasarkan pulsa curian secara online melalui situs web. Selain menangkap pelaku, aparat Polri mengamankan sejumlah barang bukti, di antaranya empat CPU, empat laptop, enam flashdisk, dua harddisk eksternal, satu modem, satu unit token BCA, satu buku tabungan Bank Syariah Mandiri, satu buku tabungan Bank Mandiri, dan empat buku tabungan BCA. Selain itu, ditemukan juga satu kartu ATM BCA, satu bundel kuitansi pembayaran, satu lembar sertifikat tanah, dua buah handphone, dua unit kendaraan roda empat, dua unit kendaraan roda dua, dua simcard AS untuk transaksi pulsa, serta 20 simcard dari berbagai provider yang digunakan oleh pelaku. "Barang bukti sudah diamankan dan tujuh pelaku kini ditahan di tahanan Bareskrim," kata Saud. Akibat perbuatannya, ketujuh tersangka dijerat dengan Pasal 363 KUHP jo Pasal 50, Pasal 22 huruf D UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi serta atau Pasal 46 ayat 1, 2, dan 3 jo Pasal 30 ayat 1, 2, dan 3 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, dan atau Pasal 3, 4 dan 5 UU 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

          5. Pembobol Situs Polri Terancam 8 Tahun Penjara

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Belum berhasil menangkap si pelaku, Kepolisian Republik Indonesia, www.polri.go.id, telah mengumumkan bahwa pembobol situs resmi mereka terancam delapan tahun penjara, sebagaimana Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Dengan ancaman hukuman delapan tahun penjara," ujar Kabag Penum Polri, Kombes Pol Boy Rafli Amar di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (17/5/2011).
Alamat situs resmi Polri, www.polri.go.id, dibajak oleh pihak tak bertanggung jawab sejak Senin (16/5/2011) kemarin. Saat pertama mengakses situs tersebut, ditemui kegagalan. Domain tersebut tidak bisa diakses sama sekali. Namun, setelah itu para pengakses situs diarahkan ke alamat http://www.polri.go.id/backend/index.html. Setelah itu, muncul muncul gambar dua orang sedang mengangkat bendera di atas sebuah bukit, disertai tulisan kalimat-kalimat Jihad.
Boy menjelaskan, perusakkan terhadap konten situs Polri adalah kejahatan dunia maya (cyber crime). Dan cyber crime termasuk kejahatan lintas-batas atau transnasional. Karenanya, ancaman hukuman bagi pelaku kejahatan transnasional ini terbilang berat.
Pasal 30 ayat 3 UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE, berbunyi "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan."
Dalam Pasal 46 ayat (3) UU ITE juga disebutkan, setiap orang yang melanggar Pasal 30 ayat (3) dipidana penjara paling lama delapan tahun dan/atau denda paling banyak Rp800 ribu.
Dia menambahkan, saat ini tim cyber crime Polri tengah menelusuri pengirim atau peretas situs mereka. Karenanya, sementara situs tidak bisa dinonaktifkan.


     6. Bareskrim Harus Usut Pembobol Komputer Perusahaan Bakrie

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri harus serius menyelidiki perkara pembajakan telepon dan akun email perusahaan Bakrie Group oleh para peretas yang diduga merupakan pihak asing.

"Pembajakan jaringan telepon dan email perusahaan tersebut merupakan preseden buruk bagi dunia usaha, apalagi menyangkut perusahaan besar nasional," ujar Anggota Komisi III DPR Bidang Hukum, Indra.

Indra menegaskan, saat ini telah banyak korban kejahatan internet dengan cara membobol atau mengakses informasi elektronik milik pihak lain untuk kepentingan tertentu. Ia mendorong Polri untuk bertindak lebih cekatan dibandingkan dengan para peretas (hacker).
"Ini bukan karena perusahaan Bakrie. Tapi cyber crime ini sangat berbahaya. Ketika jaringan internet milik perusahaan besar saja dibobol, itu kan berbahaya. Komisi III akan mempertanyakan soal ini dalam rapat kerja mendatang (dengan Polri)," kata Indra kepada wartawan di Jakarta, Rabu (7/11/2012).

Indra menambahkan, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memberikan payung bagi penegak hukum untuk mengambil tindakan tegas terhadap para peretas.

"Peralatan yang dimiliki Bareskrim sudah cukup. Untuk kejahatan internet yang dilakukan oleh para teroris saja Bareskrim mampu mengungkap, apalagi kejahatan cyber yang hanya membobol atau mengakses informasi perusahaan," kata politisi Partai Keadilan Sejahtera itu.Seperti yang diberitakan sebelumnya, karyawan bagian Finance PT. Bumi Resources Tbk Fuad Helmy membuat laporan di Bareskrim Polri pada 11 Oktober 2012 bernomor No. Pol: TBL/405/X/2012/Bareskrim.

Perkara yang dilaporkan adalah tindak pidana pencurian dan/atau perusakan dan/atau dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain dengan cara apapun dengan tujuan untuk memperoleh informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 362 KUHP dan/atau Pasal 406 KUHP dan/atau Pasal 30 Ayat (3) jo Pasal 46 Ayat (3) UU ITE. Waktu kejadian tertulis dalam Laporan Polisi itu pada Agustus 2012. Terlapor dituliskan masih dalam penyelidikan.

Pada Rabu, 10 Oktober 2012, Group Senior Vice President Bakrie Group, Christopher Fong, mengungkapkan mengenai dugaan terjadinya pembajakan akun email dan telepon perusahaan.

Fong mengatakan, pihaknya telah memiliki informasi mengenai pihak yang meretas akun email dan telepon perusahaan, yang disebutnya sebagai tindakan ilegal tersebut.

Sebagai catatan, perkara pembajakan itu mencuat seiring merenggangnya hubungan bisnis antara pihak Bakrie dan Nathaniel Rotschild, seorang financial engineer Yahudi asal Inggris, menyangkut kepemilikan saham Bumi Plc.


      7. Pembajak Situs Polri Manfaatkan Momen Penyergapan Teroris
 
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat terorisme, Wawan Purwanto, mengatakan bahwa peretas (hacker) yang mampu menjebol situs Polri dapat berasal dari mana saja.Namun kemungkinan, pelaku memanfaatkan momen saat Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri melakukan penyergapan terhadap terduga teroris Sigit Qurdowi.
"Menurut saya, orang yang mencari perhatian dan memancing di air keruh," kata Wawan ketika dihubungi Tribunnews.com, Kamis (19/5/2011).
                       
Wawan kemudian meminta kepolisian untuk secepatnya mengungkap kasus tersebut agar dapat diketahui motif pelaku melakukan hack terhadap situs Polri.
"Sebenarnya arah ajakan jihad itu bisa ditelusuri pengunggahnya," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan situs alamat resmi Polri dibajak di dunia maya. Berdasarkan penelusuran Tribunnews.com, saat pertama mengakses situs resmi Polri di alamat www.Polri.go.id menemui kegagalan.
Domain tersebut tidak bisa diakses sama sekali. Namun, setelah itu para pengguna internet diarahkan ke alamat http://www.polri.go.id/backend/index.html.
Alangkah terkejutnya ketika berhasil diakses muncul gambar dua orang sedang mengangkat bendera di atas sebuah bukit. Perusakkan terhadap konten situs Polri adalah kejahatan dunia maya (cyber crime).
Dan cyber crime termasuk kejahatan lintas-batas atau transnasional. Karenanya, ancaman hukuman bagi pelaku kejahatan transnasional ini terbilang berat.
Pasal 30 ayat 3 UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE, berbunyi "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan."
Dalam Pasal 46 ayat (3) UU ITE juga disebutkan, setiap orang yang melanggar Pasal 30 ayat (3) dipidana penjara paling lama delapan tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800 ribu.

       8. Pakar Hukum: Data Dicuri, Pengguna Bisa Tuntut Facebook

JAKARTA, KOMPAS.com - Sebanyak 50 juta data pengguna Facebook bocor ke tangan pihak yang tidak berhak. Dari puluhan juta itu, satu juta akun di antaranya dipastikan merupakan data pengguna di Indonesia. Apa yang bisa dilakukan oleh pengguna Facebook di Indonesia yang datanya dicuri?   Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengungkapkan, UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) memungkinkan hal itu terjadi. "Ya, FB sebagai korporasi bisa dituntut secara pidana meskipun hukumannya pun hanya denda," ujar Abdul Fickar kepada Kompas.com, Jakarta, Jumat (6/4/2018). Baca juga : 1 Juta Data Pengguna Indonesia Bocor, Ketua DPR Usul Bentuk Pansus Facebook
UU ITE menyatakan, setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melawan hukum mengakses komputer dan atau sistem elektronik dengan cara apapun, dengan tujuan memperoleh informasi elektronik dan dokumen elektronik, maka bisa dipidana. Ketentuan itu terdapat pada Pasal 30 ayat 1-3 dan Pasal 46 ayat 1-3 UU ITE. Pidananya, mulai dari hukuman 6-8 tahun penjara dengan denda Rp 600 juta hingga RP 800 juta. Sementara, pada Pasal 38 ayat 1-2 ditegaskan kembali bahwa setiap orang atau masyarakat dapat mengajukan gigitan kepada pihak yang menyelengarakan sistem elektronik dan atau menggunakan teknologi informasi yang menimbulkan kerugian masyarakat. Baca juga : Zuckerberg Tenangkan Investor, Saham Facebook Menguat Bahkan, kata Abdul Fickar, tidak hanya FB yang bisa digugat. Jika FB bisa membuktikan kebocoran dilakukan oleh pihak ketiga melalui aplikasi-aplikasi yang masuk ke FB, maka pihak ketiga juga dapat dijadikan subjek penuntutan. "Tetapi FB bisa dihukum karena ketidak hati-hatiannya," kata dia. Menurut dia, pencurian data pengguna FB merupakan penyalahgunaan data pribadi.
Pelanggaran hukumnya tidak lagi bersifat keperdataan karena sudah memasuki ranah yang bersifat kepentingsn umum, dan bisa dikualifikasi sebagai kejahatan. Baca juga : 9 April, Facebook Ungkap Siapa Saja Pengguna Indonesia yang Dicuri Datanya Rencananya, Facebook akan memberi tahu akun siapa saja yang datanya telah diambil Cambridge Analytica, termasuk pengguna asal Indonesia. Pemberitahuan itu akan ditampilkan lewat sebuah tautan yang ditempel di newsfeed paling atas di akun masing-masing pada Senin (9/4/2018) pekan depan.  Hal itu sesuai dengan apa yang ditulis dalam situs Newsroom Facebook yang di-posting pada Rabu (4/4/2018). Dalam sebuah pernyataan yang diunggah di akun Facebook resminya, pendiri dan CEO Facebook, Mark Zuckerberg meminta maaf pada pengguna dan menjanjikan sistem yang lebih aman untuk melindungi privasi data.


   9. Bobol Sistem Pengisian Pulsa Sebesar Rp 11 Juta, NR Diciduk Polisi




        JAKARTA, KOMPAS.com - NR, warga Tulungagung, Jawa Timur diringkus polisi lantaran meretas sistem POS pengisian pulsa milik perusahaan waralaba minimarket. Ia membobol pulsa di perusahaan tersebut selama enam jam hingga mencapai Rp 11,6 juta. Kasubdit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya AKBP Roberto Pasaribu mengatakan, penangkapan tersebut berdasarkan laporan dari kantor pusat PT Indomarco Prismatama ke Polda Metro Jaya pada 6 Mei 2016 lalu. Mereka melaporan terkait adanya pencurian pulsa pada sistem POS pengisian pulsa di 13 toko Indomaret di Jawa Timur dan Kalimantan. "Tersangka NR berhasil menyedot pulsa Indomaret selama enam jam mencapai Rp 11,6 juta," ujar Roberto ketika dikonfirmasi Kompas.com, Kamis (18/8/2016). Roberto menjelaskan, dalam menjalankan aksinya NR menggunakan alamat server pusat, kemudian masuk pada server cabang dan langsung menjalankan aplikasi POS pengisian pulsa. Kemudian sistem itu mengikuti perintah untuk melakukan pengisian pulsa ke nomor ponsel yang dituju. Setelah berhasil membobolnya, NR mengumpulkan pulsa-pulsa tersebut dan disimpan dalam 13 nomor provider berbeda. Kemudian, barulah tersangka memperjual belikan pulsa itu di forum jual beli online. "Dia menjual pulsa dengan harga lebih rendah daripada yang di pasaran. Misalnya pulsa Rp 100.000 dia jual seharga Rp 80.000," ucapnya. Akibat perbuatannya, pelaku terancam dijerat Pasal 30 ayat (1) Jo pasal 46 ayat (1) dan atau pasal 30 ayat (2) Jo pasal 46 ayat (2) dan atau pasal 30 ayat (3) Jo pasal 46 ayat (3) UU RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dan atau pasal 362 KUHP dengan ancaman hukuman penjara delapan tahun.

     10. Haikal Tersangka Hacker Ribuan Situs, Polisi: Dia Pemuda Tertutup  

TEMPO.CO, Jakarta – Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Hubungan Masyarakat Polri Komisaris Besar Martinus Sitompul mengatakan tersangka peretas situs penjualan tiket online, Sultan Haikal, merupakan pemuda yang tertutup. Dia jarang bergabung dengan orang lain.
”Waktu penangkapan, orang kaget, dia hanya lulusan SMP tapi bisa membobol ribuan situs,” ucap Martin di kantornya, Markas Besar Polri, Jakarta Selatan, Jumat, 7 April 2017.
Martin menerangkan, Polri berupaya merangkul hacker yang ada. Tapi, khusus untuk kasus ini, kata dia, karena Haikal telah melakukan pelanggaran hukum atau kejahatan, polisi mengedepankan hukuman untuk dia untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
”Baru setelah itu kami pihak kepolisian bisa melakukan komunikasi, katakanlah untuk merekrut sebagai ahli dalam membantu penegakan hukum,” ujarnya. “Tapi setelah dia menjalani hukuman.” Soal pembinaan terhadap Haikal, Polri menyerahkan kepada lembaga pemasyarakatan.
Menurut catatan kepolisian, Haikal bernama lengkap Sultan Haikal M. Aziansyah alias Emre alias Sultan Ekel. Dia ditangkap di Pesona Gintung Residen Blok F Nomor 29, Kelurahan Cempaka Putih, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Kamis, 30 Maret 2017. Dia diduga sebagai pembobol situs Tiket.com bersama tiga teman yang dikenalnya lewat Facebook.
Polisi menyita sejumlah barang bukti dari penangkapan Haikal dan tiga kawannya, seperti 4 ponsel merek iPhone, 3 ponsel Samsung, 3 kartu ATM, 2 kartu SIM, 2 laptop, buku tabungan Bank BCA dengan isi Rp 212 juta, dan router Wi-Fi. Ada juga kartu mahasiswa, sepeda motor, 1 unit rumah di Kalimantan Timur, dan uang Rp 212 juta dari tabungan itu.
”Tersangka Haikal masih dilakukan pendalaman karena membutuhkan keterangan dari pihak bank tentang mutasi rekeningnya sehingga masih kami tunggu hasil dari pihak bank,” ujar Martinus.
Haikal dan tiga tersangka lainnya diduga memenuhi unsur Pasal 46 ayat 1, 2, dan 3 juncto Pasal 30 ayat 1, 2, dan 3, dan/atau Pasal 51 ayat 1 dan 2 juncto Pasal 35 dan/atau Pasal 36 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 363 KUHP dan/atau Pasal 3, Pasal 5, serta Pasal 10 tentang Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.



 








 






 

 



 



Wisata Kayong Utara